Selasa, 24 Februari 2009

AKU TAK MAU KEHILANGAN DIRIKU

Ini adalah awal aku masuk sekolah. Bukan berarti aku anak baru. BUKAN. Kali ini aku hanya menjumpai ajaran baru. Sulit bagiku menerima kenyataan kalau aku harus berhadapan lagi dengan kelas ini. Kelas yang tak pernah mendukungku. Kelas yang menjadikanku merasa tak punya semangat. Atau ini memang tempat dimana aku semakin tidak menemukan diriku sendiri???

Aaaaaaargh! Kenapa lagi diriku ini? Selalu ada saja yang kusalahkan. Tadi pagi aku menyalahkan orang tuaku karena tidak segera memberikan buku-buku. Tentu caraku menyalahkan hanya meruntuk dalam hati. Hatiku tak henti-hentinya menyalahkan, karena gara-gara tidak ada buku pelajaran baru, aku jadi malas belajar.

Yang ke dua, aku menyalahkan kakakku. Seorang perempuan cerewet yang tiap pagi tak pernah abesen marah-marah padaku. Kontan itu selalu terjadi karena aku selalu malas merapikan baju-baju kotorku yang berserakan di kamarnya. Kemarahannya membuatku jadi tambah malas. Karena emosi yang dia lampiaskan secara tidak sadar memancing emosi pada jiwaku. AAAAArgh! Salah siapa dia selalu menempati kamarku kalau mau belajar. Membuatku selalu memilih ganti baju di kamarnya.

Pagi ini aku juga menyalahkan sopir angkot karena keleletannya mengemudi. Aku jadi tidak sabar dan nyaris mau loncat saja dari angkot. Apa dia tidka punya hati sampai mau membiarkanku telat gara-gara angkotnya. Huh! Itu juga yang membuatku jadi sering malas ke sekolah. Angkot-angkot yang menjurus ke sekolahku selalu begitu!

Pagi yang menggila ini aku tersungut-sungut tak ada gairah menerobos gerbong sekolah. Bayang-bayang wajah angker milik guru-guru terus terang kembali menggelayuti otakku. Belum lagi bayangan akan anak-anak kelasku yang rata-rata pemalas. Membuatku ingin memekik. AKU SEBAAAAAAAAL!!!

Adakah yang bersedia menyatukan kembali harapanku. Aku harus punya harapan! Tapi bagaimana aku mendatangkan harapan itu?

Pagi yang masih menyisakan semilir dingin ini telah menjumpaiku di sebuah kelas yang sepi. Hanya aku sendirian di bangku tengah. Teman-temanku yang lain lebih memilih ke luar kelas daripada menunggu bel di kelas yang nyaris tidak ada satupun yang menyenangkan.

Hanya ada beberapa peta, tempelan-tempelah rumus, graffiti nama kelas. Gambar presiden dan wakilnya. Gurung garuda. Buku-buku di meja guru. Tidak perlu kusebutkan semuanya. Karena pada kenyataannya tidak ada yang menarik bagiku.

Aku membuka buku agenda. Membaca tulisanku setahun lalu. Tentang harapan dan cita-citaku. Target-target hidup dan berbagai kalimat-kalimat penyemangat. Aaaaaaaaaargh! Semuanya memudar. Kalimat penyemangat itu sudah tidak mempan untuk memompa semangatku.

Aku terlalu sering menghianati diriku sendiri. Berderet-deret target tidak ada yang beres. Jadwal-jadwal harianku banyak yang tidak kuperhatikan. Apalagi akhir-akhir ini. Hari-hari yang sangat menyebalkan buatku. Liburan yang biasanya membuatku tetap semangat belajar. Kini menjadi liburan paling mengenaskan. Aku menghabiskan liburan dengan bersantai-santai saja di rumah. Tidak ada refreshing, tidak ada jalan-jalan, tidak ada belajar.

Dua pasang sepatu menghentak ruang kelas. Kulirik mereka sebentar. Dua orang berseragam panjang dengan kerudung putih mulai mendekat ke arahku. Afra dan Hilda. Dua sahabatku yang paling setia jadi teman akrabku sejak SMP. Kebetulan dari SMP kami satu sekolah. Dan SMA ini, Alhamdulillah kami bersama lagi.

Aku tak menghiraukan kedatangan mreka. Aku lebih memilih memasang kepalaku di atas lipatan tangan yang kurebahkan di meja. Jari jemariku mulai mengetuk-etuk meja tanda aku masih sangat bosan.

“Hai Sil! Liburan kemana ni?” Tanya Afra membuatku terjingkat. Kuangkat kepalaku dan mulai mendongak menyaksikannya.

“Di rumah aja,” jawabku tanpa semangat.

“Duuuuuh kasian. Pasti di rumah belajar ya? Kerajinan bener kau,” goda Hilda dia mulai duduk di bangku belakangkuku. Dan Afra duduk bersebelahan denganku.

Aku tersenyum kecut. Mereka nggak tau kalau di rumah aku sedang terkena penyakit malas paling akut. Fiuh! Rasanya menyakitkan sekali.

“Aku kemarin ikut pelatihan di Jogja. Aku jadi delegasi Komunitas GEBRAK. Di pelatihan itu ada acara jalan-jalannya juga. Ni aku bawa oleh-oleh buat kalian,” Hilda mengeluarkan beberapa dua baju batik, dua gelang dan snack-snack. Ia letakkan oleh-oleh itu di meja.

“Ini aku beli di Marioboro,” ucap Hilda selanjutnya. Ada perasaan bangga yang menyelinap di hatinya karena sudah keliling di kota budaya itu.

“Makasih,” Afra semangat. Wajahnya yang putih bersih itu jadi merona karena bahagia.

“Thanks, Hil.” Ucapku sambil mengulur senyum. Biar bagaimanapun aku turut senang melihat Hilda yang bahagia seperti itu.

“Kamu masih aktif di Gebrak?” tanyaku.

“Iyalah. Sekarang programnya makin banyak. Ada tambahan kegiatan di sana. Kegiatan englishnya ditambahi, terus sekarang ada latihan soal lingkungan. Seru deh! Bias nambah wawasan.” Terang Hilda bersemangat.

Aku manggut-manggut. Rasanya tidak ada ketertarikan sama sekali. Mengingat aku yang sangat malas ini. Akhir-akhir ini aku sering sekali menunda-nunda pekerjaan. Yang akhirnya hampir semua pekerjaan pentingku tidak kelar. Aku yang rencananya mau bersih-bersih kamar kalau liburan, sampai sekarang belum juga mengerjakan. Terus rencanaku membaca dua belas buku juga nggak keturutan. Jangankan dua belas, satu aja belum kelar. Ada saja alasan yang membuatku bermalas-malas. Sering capeklah, meski nggak ngapa-ngapain. Bosan, males, lesu, nggak mood. Huh! Menyebalkan.

“Kamu, liburan ngapain Fra?” tanyaku pada Afra. Dia tengah melihat-lihat baju batik pemberian Hilda.

“Aku?” Afra tersenyum. “Aku banyak nulis di media. Banyak koran yang menawariku membuat artikel. Juga majalah-majalah islami juga banyak memintaku menulis cerpen dan tips-tips remaja.”

“Tips remaja? Apa aja?” tanyaku agak penasaran meski tak begitu semangat.

“Tips mengendalikan emosi, sabar menghadapi teman yang benci kita, cara mengatasi ego diri. Macem-macemlah, Sil.” Ucap Afra halus. Satu hal yang jadi ciri khasnya. Tiap bicara pasti selalu diselipkan senyum. Jadi yang mendengar juga jadi seneng.

“Tips menghadapai kemalasan ada nggak?” tanyaku.

Afra mengernyitkan dahi, “Kayaknya belum. Hmm… ide bagus juga itu. Penyakit malas kan bisa diderita siapa aja.”

“Iya. Termasuk aku. Huh! Sebal.” Gerutuku.

“Kamu kenapa sayang?” Tanya Hilda.

“Liburan ini aku males banget. Aaaaaah! Keknya ini gara-gara Mbakku yang cerewet itu. Tiap hari nyuruh inilah, itulah. Aku jadi malas kalo kebanyakan disuruh gitu. Terus dia sering banget megang computer. Cuman ngakses hal nggak penting aja. Huh! Padahal kalau liburan tu ya aku paling semangat kalau baca artikel di computer.”

“Kenapa kamu nggak baca buku aja?” Tanya Afra.

“Aku sih baca tiap malem. Tapi nggak konsen. Gara-gara adekku tiap hari selalu ngajakin temennya buat main PS di rumah”

“Kok nggak ke luar aja. Di belakang rumahmu kan ada taman. Asik juga kan baca di situ.” Ucap Hilda.

“Di taman nggak asik sekarang. Udah kotor nggak terawat lagi. Ayahku pulan kampong selama satu bulan. Katanya sih ada tetangganya yang minta dibantu apa gitu. Jadi nggak ada yang ngrawat taman belakang rumah. Ibuku sendiri udah sibuk di rumah.”

“Kenapa kamu nggak bersihin aja itu taman?” Tanya Afra.

“Males,”

“Yah kamu!”

“Udah gitu ya. Ayahku belum pulang-pulang juga lagi. Katanya sih masih sibuk di sana. Sementara aku belum dibelikan buku-buku pelajaran. Padahal kata kepala sekolah kan kita disuruh beli buku pelajaran sendiri. Uuugh! Kepala sekolahnya juga tu. Udah tau mengepalai sekolah, nggak mau ngusahain beli buku buat siswanya apa.”

“Bukannya nanti kita beli buku dari sekolah ya?” Afra memastikan.

“Enggak, Fra. Kita itu disuruh beli buku pelajaran di luar. Sekolah tahun ini nggak menyediakan. Ada sih sedikit, tapi itu buat pegangan guru.” Hilda menjelaskan.

“Pokoknya kepala sekolah harus bertanggung jawab atas kemalasanku ini. Salah sendiri sebelum liburan dia udah memberi berita kalau sekolah tahun ini nggak sedia buku banyak. Pakek nyuruh kita beli buku di luar segala lagi. Bikin aku jadi mikir tu. Mana kalau di luar buku-bukunya tambah mahal lagi. Huh!”

“Tau tuh. Bukannya sekolah kita ini buku-bukunya terbitan sekolah sendiri ya?” Hilda memastikan

“Iya. Materinya aja yang agak sama kaya sekolah lain. Tapi biasanya guru-guru kita menambahi materi lagi dalam buku cetakan sekolah kita. Terus kenapa coba sekarang ini kita disuruh beli buku di luar.” Ucapku dengan hati yang masih beku.

“Karena untuk kelas tiga memang begitu. Jadi materinya mutlak dari buku-buku panduan kaya sekolah-sekolah lain. Kan mau ujian.”

“Nah itu juga tu yang bikin aku nggak semangat. Kelas tiga ini pasti kita udah dihantui sama yang namanya ujian. Bikin tambah males aja. Padahal aku rencanya mau konsen ke bidang-bidang tertentu. Nah kalau kepentok ujian ya konsentrasiku pindahlah.”

“Jangan jadikan ujian sebagai alasan. Toh ujian akhir cuma formalitas doang. Kakak sepupuku aja ni ya, yang bego kaya gitu bisa lulus. Apalagi kita?” Hilda mulai beranjak dari tempat duduknya.

“Jangan gitu. Dulu aja ada yang pinter banget bisa nggak lulus. Orang dia menang Olimpiade Fisika. Udah gitu udah keterima di Universitas Luar negri.”

“Parah banget,” Hilda merespon. Ia mulai duduk di bangkunya.

“Yang kek gitu aja nggak lulus lho.”

“Ya udah. Nggak usah anggep ujian jadi hasil evaluasi. Itu bukan untuk mengukur kemampuan tapi untuk adu keberuntungan,” tanggap Afra.

Kami tergelak bersama.

“Orang temannya kakakku dulu aja tinggal coret lingkaran aja bisa lulus.” Kata Hilda.

“Berarti ujian nggak usah dihawatirkan. Dan itu juga bukan jadi alasan atas kemalasanmu.” Ucap Afra.

“Ah! Gimana-gimana aku juga mikir.”

“Udah nggak usah terlalu dipikirin. Yang perlu dipikirkan sekarang gimana caranya kamu bisa semangat belajar. Kalau kamu semangat belajar pasti kamu nggak males. Lagian belajar kan juga bukan buat ujian aja. Ujian hanya sekilas lalu. Setelah ujian kita masih melanjutkan hidup.”

“Ya kalau lulus. Kalau enggak?” tanyaku.

“Ya semoga lulus dong.” Jawab Afra cekatan. “Tapi yang pasti lulus atau tidak itu nggak penting. Lebih milih mana kamu, lulus tapi tetep nggak punya semangat. Atau nggak lulus tapi semangat belajarmu tinggi?”

“Ya pilih lulus dan semangatnya tinggilah.” Jawabku serius. Kalau ngomongin masalah lulus emang kaya ngomongin hidup dan mati. Karena kalau nggak lulus bisa malu banget. Asli!

“Bukan berarti yang nggak lulus itu bodoh.”

“Iya sih. Tapi pandangan orang lain itu lho.”

“Makanya jangan malas. Kalau kamu nggak malas ya biarpun nggak lulus kamu masih bisa mempertahankan kredibilitasmu. Kalau mau jadi orang berhasil itu jangan malu. Kita buktikan saja kalau kita juga bisa berprestasi. Jadi kalau kita tidak lulus orang lain akan berpikir kalau kita itu tidak beruntung. Bukan kitanya yang bodoh. Missal kaya yang juara Olimpiade fisika tadi. Meski dia nggak lulus pasti dia nggak malu-malu amat. Orang dia sudah membuktikan pada dunia kalau dia memliki prestasi. Kalau sampai tidak lulus berarti itu masalah ketidak beruntungan saja.”

“Tapi tetep aja malu.” Sergahku.

“Gini deh. Kita positive thinking aja. Masalah lulus nggak lulus itu urusan ntar. Yang penting sekarang kita nggak boleh males.”

“Gimana ngatasi kemalesan, Fra?” tanyaku nggak sabar.

“Jangan salahkan orang lain atas kemalasan kita. Belum tentu orang lain merasa bersalah sama kita. Sebenernya kita sendirilah yang paling berpotensi mengatasi masalah kita. Kita yang harus mengendalikan rasa malas, bukan kita yang dikendalikan rasa malas. Satu-satunya yang bisa membuat kita mengurangi malas itu ya memaksa diri kita. Terus kalau melakukan sesuatu jangan ditunda-tunda.”

“Yah itu kebiasaanku tu.” Ucapku menyela kalimat Afra.

“Jangan dipiara itu.” Afra terlihat serius. “Kita harus punya cita-cita dan pandangan ke depan. Pandangan kita nggak boleh sempit. Masak cuman gara-gara ujian akhir terus bikin kita males. Itu namanya pandangannya sempit. Kita belajar itu bukan cuman mentok buat ujian aja. Kita belajar menyiapkan masa depan.”

“Aku udah nggak tau nih cita-citaku apaan. Hidupku mengalir gitu aja. Aku nggak kaya kamu yang sibuk nulis di media. Juga nggak kaya kamu Hil yang sibuk di komunitas Gebrak.”

“Nggak sibuk juga nggak apa-apa. Asal produktif. Waktu kita nantinya juga akan kita pertanggung jawabkan. Jadi sebisa mungkin gunakan waktu sebaik-baiknya. Pokoknya jangan terlalu sering bersantai deh. Tapi bukan berarti kamu harus memaksa dirimu untuk terus sibuk sampai lupa waktu. Sibuk sama produktif itu beda lho. Yang paling penting itu manfaatnya.”

“Aku sempat putus asa, Fra. Apalagi kalau bicara soal cita-cita. Aku nyaris berhenti mengejar cita-cita.”

“Itu dia tu. Kita juga nggak boleh berhenti ngejar cita-cita. Jangan keseringan teledor. Bikin jadwal deh, Sil. Bukanya dulu kamu sering bikin jadwal.”

“Iya tapi aku sering menghianati diriku sendiri,”

“Ya jangan dibiasakan. Jangan keseringan melakukan hal-hal yang meyimpang. Parahnya kalau sampai keseringan nunda-nunda pekerjaan. Jangan nunggu semangatmu layu,”

“Kita emang musti maksa diri keita sendiri. Terus ngasih motivasi ke diri kita.” Lanjut Hilda.

Aku terdiam. Menyerap kata-kata mereka. Aku sempat tersentak mendengar tanggapan mereka yang sangat serius itu. Dulu kukira penyakit malasku, nanti akan bisa hilang sendiri kalau sudah waktunya. Tapi semakin hari, penyakit ini makin menggerogoti jiwaku saja. Makin ganas kalau kurasa. Aku emang harus berubah. Salah besar kalau aku terus-terusan menyalahkan orang lain atas kemalasanku. Aku sendirilah yang harus merubah gaya hidupku. Aku yang harus memulai. Aku nggak mau kehilangan diriku gara-gara rasa malasku sendiri.

SILMA yang malas bukanlah sejatinya diriku. Aku bukan pemalas! Aku harus bergerak.

***

Malam ini aku kembali membuka agenda. Kembali mengisi agenda yang sudah lama tak tergores tinta.

Penaku mulai menapaki bagian kosong dalam agenda. Aku mulai menulis daftar harian. Otakku kupaksakan untuk berpikir. Kali ini aku menulis sepuluh tugas yang harus kukerjakan. Lima pekerjaan rumah, dan lima lagi pekerjaan sekolah. Aku memasang target satu hari harus membaca buku minimal setengah jam.

Di lembaran berikutnya, aku membuat rencana agenda mingguan. Tentang jadwal pelajaran dan jadwal ekstrakulikuler. Kutulis semuanya dan kuatur semua waktunya. Tahun ini aku harus banyak kegiatan dan banyak mendapatkan sesuatu. Nggak boleh kosong.

Tulisan besar kutulis di lembar berikutnya.

FOKUS DAN KONSENTRASI PADA APA YANG SEDANG KAMU HADAPI!!! SEMANGAT, SILMA!!!

***

Pagi ini aku bangun sangat pagi. Lebih pagi dari biasanya. Semalam aku sudah menyusun jadwal untuk hari ini.

Aku bangun sebelum subuh. Sholat tahajut dan berdoa. Usai subuh aku sempatkan membersihkan taman. Aku sudah bertekad, jadi aku tidak boleh malas. Kalau taman bersih, maka tidak ada alasan lagi untuk malas membaca di taman.

Setelah menyapu taman, aku baca buku sebentar di taman. Sambil mengantri kamar mandi. Adikku kalau mandi emang rada lama.

“Silma! Lantai ruang tamu disapu tu. Terus rapikan buku-bukunya. Jangan males dong! Gentian kamu yang bersih-bersih!” Teriak Mbak Ambar yang baru saja keluar dari pintu belakang rumah.

Hatiku nyaris protes tapi aku menyegahnya. Kali ini aku bergerak. Aku berusaha menuruti perintah kakakku itu tanpa komen macem-macem. Yah! Aku coba menurut aja, siapa tahu dengan ini aku bisa mengobati kemalasanku.

Aku harus melakukan sesuatu! Itulah yang mulai kutekankan pada diriku.

NGGAK ADA KATA MALAS. DEMI MASA DEPANKU!

Maaf yang melayang

Suasana sekolah sudah mulai ramai dengan riuh canda tawa siswa-siswi yang sudah berdatangan sejak pagi tadi. Terlihat di ruang TU suara musik menggema. Ruang yang dulunya merupakan ruang tata usaha yang hanya boleh dihuni para guru, sekarang menjadi ruang bebas berekspresi dengan tetap menamainya sebagai TU. Dua PC komuputer terjajar di ruang itu. Anak-anak berbaur menghuninya. Ada yang sibuk membenai tulisan di komputer, ada yang mengedit foto dengan photoshop. Ada pula yang hanya nimbrung untuk sekedar mendengarkan musik. Ada beberapa anak SMP, juga anak SMU di ruang itu.

Disebut SMU, bukan karena kepanjangan dari Sekolah Menenang Umum, melainkan Sekolah Menengah Universal. Penamaan ini muncul dari siswa-siswa angatan pertama yang sekarang masih menduduki kelas lima, setara dengan kelas dua SMA.

Menengok ke ruang tamu, terlihat banyak anak yang sedang asik menggunakan laptop yang sudah terkoneski dengan internet. Lebih dari lima orang asik berkelana di dunia maya. Di kelas Paradise of full colour, -nama untuk anak kelas tiga SMP- sudah sepi semenjak istirahat tadi, hanya ada beberapa anak. Ada yang baca buku, ada pula yang asik ngobrol. Tak ada kaum adam di tempat itu. Di ruang computer sebelahnya lagi, sekelompok anak mengelilingi dua computer yang tersedia. Keduanya sibuk berkelana di dunia maya. Satu computer sedang digunakan untuk mengerjakan tugas. Satu computer lagi sedang diakses oleh RIky, ia terlihat sedang asik membuka friendster miliknya. Sebuah aplikasi serta web yang sedang diganderungi anak satu sekolah. Iringan musik menggema kencang di ruangan itu.

Beralih ke perpustaakaan. Di tempat itu hanya ada segelintir anak. Dan seperti biasa, selalu ada Jo di pojok perpus yang tak pernah bosan dengan buku ilmu pengetahuan popular.

Menengok ruang RC. Suasana masih sepi. Gedung RC merupakan gedung resource centre untuk desa. Gedung ini masih setengah jadi. Tapi untuk lantai pertama sudah bisa dihuni. Ruangan besar ini biasa digunakan belajar untuk siswa-siswi kelas empat, setara dengan satu SMU.

Beberapa anak sudah asik ngerumpi di tempat itu, ada juga yang asik di dunia maya.

Terlihat Samuel, keluar kelas lantas membawa diri ke rumah Mbah Lam. Sebuah rumah warga yang bisa dikatakan kantin sekolah.

Samuel memesan nasi sekaligus minuman lantas dengan santainya ke ruang tamu milik Mbah Lam sambil asik memainkan HPnya. Kebiasaan sehari-hari, bersantai-santai seperti ini.

Beberapa saat, kelas empat sudah memulai belajar selanjutnya. Beberapa anak sudah berkumpul. Seperti biasa, Jo, Riky juga Samuel belum juga hadir pada tepat waktu pada jam kedua setelah istirahat.

“Jo, Riky, Samuel???” Tanya ida, selaku leader kelas.

“Biasa, telat. Tiap jam kedua kan emang gitu.” Ucap Fitri.

“Kalau Jo sih maklum aja. Dia kan kutu buku. Jadi biar telat, dia masih belajar di perpus. Nah kalo Samuel sama Riky? Paling mereka asik ngenet atau kalo nggak si Samuel masih di rumah Mbah Lam.” Sambung Zaty.

“Ini udah yang ke tujuh belas kali pertemuan mereka selalu telat di jam ke dua.” Fitri mengingatkan.

“Mending, kita kasih hukuman. Dulu kan udah jadi kesepakatan.” usul Zaty.

“Jo juga?” ucap Fitri kaget.

“Iya lah orang dia juga telat. Ya walaupun dia punya kesibukan di perpus. Tapi kan dia juga masih punya tanggung jawab terhadap kelas. Lagian ini kan udah jadi kesepakatan.”

“Siiiiiiiip,” Ipul ikut andil.

“Tapi hukumannya apa ya?” Luluk mikir.

Semua ikut mikir.

Zati mulai dapat ide, “gini aja…” &*()(&%%$^&%

Kelas yang belum dimulai masih sibuk mencari ide untuk menghukum ketiga anak yang selalu rutin telat itu.

Tak ada guru di kelas. Ini system yang tak asing di sekolah komunitas ini. Semua yang menyetir anak didik. Jikalau memang anak didik memerlukan guru, barulah mereka mencari sendiri. Karena orientasi ada pada kemandirian. Jadi jangan heran kalau masalah hukum mengkuhum juga jadi tanggung jawab bersama. Guru atau pembimbing sangat jarang ikut andil dalam masalah aturan. Siswa yang menetukan.

Suasana lain terlihat di ruang computer. Hanya ada Riky yang lagi ngelog-out friendsternya. Kemudian beranjak menuju ke perpus menemui Jo.

“Jo, masuk yuk!” serunya seketika.

“Ya.” Jo meletakkan buku miliknya. Kemudian mengikuti langkah Riky.

Dua anak telat ini masih berjalan santai untuk ke kelas. Jo sendiri meski terkenal pinter, dia justru lebih suka introvert daripada gabung sama orang banyak.

“Jo, Rik..! tungguin gua dong!” Seru Samuel begitu mereka berdua menapakkan kaki di depan rumah Mbah Lam.

“Telat juga lo?” Riky tertawa kecil mendapati Samuel yang juga salah satu anak lengganan telat di kelas ideal gank.

“Biasa, tadi gua makan dulu.” Ucap Samuel.

“Paling juga lo tadi tidur dulu.” Timpal Riky.

“Tau aja lo!” Samuel meringis.

Jo masih diam dan tak menanggapi obrolan mereka berdua.

Memasuki kelas, langsung ketiganya melewati pintu utama RC.

“Ssst…ssst.. tu mereka!” bisik Luluk.

Nyaris semua anak di kelas melihat ke arah mereka bertiga.

Dengan langkah yang tenang, ketiganya melangkah ke forum kelas seperti nggak ngerasa salah sama sekali. Gelagat mereka malah cenderung memberikan tampang sok keren dan sok cool seoalah-olah pada berwibawa.

Dengan gaya yang nyaris serupa, mereka mulai duduk di tempat yang tersedia. Ketiganya sama-sama langsung bersila kemudian fokus ke Ida.

“Telat lagi?” Ida sedikit menahan marah.

“Udah biasa kan kita gini. Jadi ya… emang kita bisanya kumpul jam segini.” Samuel membela diri.

“Bab kali ini tu udah mau selesai. Ni dah kutulis dari A sampe Z. Eh kalian malah baru dateng.” Tanggap Ida.

“Nggak menghargai banget,” Zaty angkat bicara.

Iyo kuwi.. Wuah…” Ipul langsung nyerobot.

“Karena kalian telat terus. Kami sepakat buat ngasih kalian hukuman.” Fitri langsung menimpali.

Riky sama Samuel langsung nunjukin tampang kaget dan tablo abis.

“What?” Runtuk mereka dalam hati.

Jo sendiri malah terkesan lebih santai dari mereka. Masih terkesan cool dan pandangan malah tak tertuju pada lawan bicara.

“Kita kan juga punya alasan!” Samuel membela diri.

“Iya. Kita punya alasan. Jadi biarkan kita memberikan alasan kita dong.” Riky ikut-ikutan.

“Paling Riky main internet di ruang computer. Samuel makan ato tidur di rumah Mbah Lam. Dan Jo…” Zaty terdiam begitu menyaksikan mata jo mulai memperhatikan Zaty.

Entah kenapa, cewek-cewek pada gugup sendiri kalau udah berhadapan sama Jo. Mungkin karena dia pinter juga dingin pakek banget…

“Biasa. Paling Jo di perpus. Baca buku…” lanjut Ipul.

“Kutu buku bagi-bagi ilmu dong.” Fitri menambahi.

“IYa. Tadi lo dapet apa, Jo?” Tanya Ipul.

“Gua tadi dapet pengetahuan tentang gurun.” Ucap Jo tanpa beban.

“Cerita dong. Jo.” Bujuk Ipul.

“Ehm. Jadi gurun itu… gini… gurun itu ehm.. gini-gini…” Fiuh… Jo menghela napas panjang. Sambil sesekali melirik ke arah Sem sama Riky.

“Gua nggak bisa,” bisik Jo pada Sem.

“Udah dong! Lo pada kan tau kalo Jo itu kelewat diem. Malah digituin. Gua aja lah yang cerita.” Samuel membela.

“Ah… paling lo cerita ngimpi lo pas mbiler tadi!” Ipul menimpali.

“Ya itu kan kenyataanya.” Samuel membela diri

“Gua aja deh yang cerita.” Sela Riky.

Semua mata memperhatikan Riky.

“Jadi gua tadi kan buka internet. Aih, cewek-cewek friendster tambah keren-keren. Malahan gua sempet diajakin kencan sama mereka. Gua kan jaim, jadi gua tolak.haha,” Ucap Riky sok keren sambil ketawa garing sendirian.

“Wuuuuuuuuuuuu,” serempak semua anak di kelas nyorakin mereka.

“Yang ada lo kali yang ditolak,” ucap Ida disela tawanya.

“Udah nggak usah pakek alesan-alesan lagi. Kalo diitung-itung, kesalahan kalian bertiga itu sebenernya udah banyak. Selain udah tujuhbelas kali kalian telat, kalian juga udah ke sembilan kalinya bolos kelas tanpa izin. Samuel lima kali nggak mau jadi leader. Riky tujuh kali nggak jadi leader. Dan Jo udah ke sebelas kali pertemuan nggak mau jadi leader juga. Jatah piket, kalian selalu nggak ada. Jatah ngumpulin laporan, kalian lagi-lagi nggak ikut andil. Ck…ck..ck… dan pokoknya masih banyak lagi.” Beber Ida sambil menengok buku catetan khusus kelas Ideals Gank, sebuah nama untuk kelas yang satu ini.

“Sudah diputuskan. Seperti kesepakatan semula, ada hadiah untuk anak yang melanggar peraturan sendiri. Karena sudah terlalu sering melanggar, kali ini nggak bisa ditawar-tawar.” Ida mulai serius.

Ketiganya masih santai seolah menyepelekan. Terang saja, mereka sudah ke sekian kali lolos dari hukuman-hukuman. Yah… karena hukuman-hukuman yang kermarin-kemarin nggak mereka jalanknan.

“Kalian kami minta membuat film.” Terang Ida.

“FILM?” Riky dan Samuel sama-sama kaget.

Jo sendiri hanya menunjukkan ekspresi kagetnya sekaligus wajah yang tak begitu suka menerima hadian dari teman-temannya itu.

“Iya, film. Film tentang documenter Desa ini. Desa Kalibening tercinta. Kami beri waktu satu bulan. Kalau dalam jangka panjang itu kalian belum juga mengumpulkan filmnya ke kelas, maka dengan berat hati kami mengeluarkan kalian dari kelas,” Ida serius.

“KELUAR?” Samuel nggak habis pikir.

“Kok peraturan kelas jadi keterlaluan gini?” Riky seperti tak mau terima.

Fouuuuuuuuh… Lagi-lagi Jo hanya menghela napasnya.

“Karena ini sudah kesepakatan kita dulu kan? Apa kalian lupa? Yang nggak konsekwen mendingan nggak usah ikut kelas.” Tambah Zaty.

“Lagian, kalian juga udah keterlaluan sih…” Ucap Luluk tanpa memperhatikan mereka. Ia sendiri malah seolah konsen pada buku gambarnya. Tangannya juga asik coret-coret menggambar sesuatu.

“Mampus gue!” dengus Samuel.

“Shit!” Riky mulai merah padam.

Jo sendiri keliatan panas dingin. Nyaris nangis mungkin…

***

Menduduki ruang atas yang sepi. Hanya ada Samuel, Jo dan Riky. Ruangan ini dulunya juga kelas. Sempat jadi ruang komputer sekaligus tempat pustaka digital. Dan sekarang sudah jadi ruang bebas ekspresi.

“Film???? Dokumenter lagi… Huh! Mimpi apa gua semalem.” Samuel masih terlihat emosi. Dia duduk di dekat Jo, tepat di samping komputer.

“Gua kan bukan anak film.” Riky menanggapi.

“Jangakan elo. Gua nyentuh handycam sekolah aja cuman satu kali. Itupun pas disuruh bawa sama Mbak Maya waktu itu .” Samuel terang-terangan.

“Gue ngeliat prosesnya aja cuman satu kali. Pas anak Ahmad Dahlan bikin film Funky Ghost.” Riky juga blak-blakan.

“Yah, tapi mau gimana lagi. Kita juga sih yang salah.” Samuel mulai sadar.

“Kita dah kelewatan sama kelas,” tanggak Riky.

“Ada ide nggak?” Samuel memastikan.

“Nggak,” ucap Riky yang anggannya udah melayang. Masih seperti orang linglung yang lagi bingung mikir.

“Lo, Jo?”

Jo hanya geleng kepala. Dia juga keliatan mikir.

“Ahli komputer gini disuruh bikin film. Hh… kalo nggak kepaksa ya mana mau!” Riky mulai mengeluh lagi sambil menyandarikan kepalan tangan di dahi miliknya.

“GUa juga. Masa ahli musik kaya gue disuruh bikin film. Harusnya gua yang jadi pemain.” Samuel narsis.

“Ini tu film documenter. Ya nggak ada actingnya,” Riky menanggapi.

Jo nggak ikut mikir malah membuka buku yang barusan ia ambil dari tasnya.

“Huh… peduli amat sama lo yang ahli computer. Peduli amat sama gue yang ahli musik ini. Yang pasti kita udah nggak bisa protes lagi. Mau nggak mau tuh film harus jadi dalam waktu sebulan ini. Ya, itu kalau kita nggak pengen dikeluarin sama kelas. Soalnya jujur aja. Gue udah terlanjur cinta ma kelas Ideals Gank.” Ucap Samuel.

“Ya udahlah. Kita coba aja. Itung-itung buat pengalaman.” Riky nyerah juga.

“Jadi udah clear?” Jo meamastikan.

“Clear apanya. Bego lo! Orang jalanin aja belum, udah dibilang clear.” Samuel nyolot.

“Dari tadi gua nunggu kalian selesai debat. Gua nunggu kalian nyerah sama peraturan itu.” Ucap Jo.

“Terus?” Riky masih nggak ngerti apa yang dibicarakan Jo.

“Key… dah sepakat mau ngerjain hukuman kan?” Tegas Jo.

“Ya iyalah.” Ucap Samuel dengan nada.

“Oke.” Jo membuka buku catatan sekaligus pen. “Jadi gini. Kita emang punya keahlian masing-masing. Apa salahnya kita nyoba dunia baru. Ya… mungkin kita bisa manfaatkan keahlian kita.”

Riky sama Samuel masih belum begitu paham.

“Hmm…” Jo tersenyum kecil, “Jadi gini. Lo kan jago musik, Sem. Lo udah terbiasa mainin musik. Nah sekarang giliran kamu mainin kamera.”

“Alat musik sama alat buat shoot itu beda jauh Jo.” Samuel masih saja nyolot.

“Ya dicoba dulu.,” Terang Jo, “ Nah kalo Lo, Rick. Lo kan jago otak-atik program di computer. Lo juga sering cari sesuatu yang baru di internet. Sekarang giliran lo pelajari cara mengedit film.”

“Hmmm… boleh juga.” Riky mulai menangkap pembicaraan Jo, “Terus ide buat filmnya?” Tanya Riky.

“Gua paham sekarang. Gua ntar yang belajar jadi kameramen. Riky belajar jadi editor dan Lo, Jo. Lo kan yang paling suka mikir diantara kita bertiga. Jadi Lo yang cari ide cerita dan nulis skripnya.” Ucap Samuel.

“Emang dokumenter ada skripnya?” Riky bertanya.

“Mana gue tau!” Samuel angkat bahu.

“Ya ntar skripnya kan nggak perlu dtail kaya kalo temen-temen buat film dramatis itu. Ntar gue tinggal nulis poin-poinnya aja.”

“Top cer Lo! Ternyata otak lo encer juga, Jo. Gue kira lo tu nggak bisa ngomong. Ternyata lo bisa ngomong juga.” Samuel menepuk-nepuk pundah Jo.

Jo cuman menarik senyum simpul dengan masih stay cool. Ia masih saja mencatat-catat.

“Terus, kita mulai kapan?” Riky memastikan.

“Secepatnya.” Ucap Samuel.

“Berat ya. Gua kan orang Aceh, Lo orang Jakarta, terus Lo orang Demak. Masak disuruh bikin dokumenter Desa Kalibening. Ck… wacana kita tentang desa ini kan nggak terlalu keren.” Keluh Riky.

“Bego lo! Dengan ini kita kan bisa tau desa sini. Jadi nggak sia-sia kita menempati Kalibening.” Tanggap Samuel.

“Oke. Kita langsung bagi waktu aja. Jadi seminggu ini Sem latian jadi kameramen sama Hilmy atau Ipul atau siapalah. Terus Riky latian edit film, dan gue coba bikin skrip sekaligus cari tau soal desa Kalibening.” Ucap Jo memperhatikan catatannya, sambil sesekali mencoret-coret kertasnya.

Riky dan Samuel manggut-manggut memahami penjelasan Jo.

“Minggu ke dua kita kumpul lagi. Diskusi skrip sebentar. Terus langsung terjun ambil gambar tentang desa. Mungkin kita butuh waktu sekitar dua minggu. Dan Minggu terakhir kita edit bareng-bareng.” Terang Jo.

***

Sehari setelah itu. Mulailah mereka dengan aksi masing-masing. Samuel menemui Hilmy dan minta penjelasan masalah kamera. Hilmy menjelaskan dengan detail cara pemakaiannya. Mulai dari membuka, ply, zoom in, zoom out, dan segala tentang camera. Hilmy memberikan pengetahuan dasarnya. Kemudian mengajari Samuel cara merekam adegan dan cara penggunaan Handycam. Sam juga langsung praktek dengan masih ditemani Hilmy. Hilmy terus berusaha mengarahkan ketika Sam mengalami kesulitan. Membenarkan ketika hasil yang diambil Sam blur atau goyang-goyang jadi gambar nggak jelas. Hilmy menerangkan cara mengezoom yang halus. Cara mencari angle. Cara mengambil adegan dengan jalan. Dan segala hal tentang penggunaan camera dipelajari semua.

Riky juga sibuk belajar mengedit film sama Ipul. Ipul mengajarinya dari memasukkan gambar dari explorer ke layar Vegas. Mengajari cara memotong adegan, memberi effect dengan transition mulai dari 3D Blinds sampai zoom. Kemudian, cara memberi effect dengan Video fx mulai dari yang Add noise, Mirror, Sampai yang broadcast colors, cara menggunakan media generator mulai dari checkerboard sampai Video Factory teks. Kemudian cara memberi adegan slowmotion lewat velocity. Memeberi tahu satu persatu fungsinya Video Event FX. Cara memasukkan musik, cara mengotak-atik volume. Semuanya dipelajari sampai cara merender film agar bisa terbentuk jadi move clip.

Jo sendiri sibuk mencatat skrip sementara. Wawancara ke siswa-siswa yang asli tinggal di desa Kalibening. Kemudian meminta pengarah pada Bu Dewi, pak Mujab dan guru-guru lain untuk memberikan banyak masukan. Juga menyempatkan diri ngobrol dengan Mbak Maia, siswa kelas lima yang terobsesi banget jadi sutradara film. Makanya, nggak salah kalau wawasannya tentang film luas banget.

JO terus mencatat di buku tentang apa yang sudah didapatinya. Lantas mengetik ulang di lap top.

Akhir pekan, mereka berkumpul di depan RC.

Jo terlihat menggunakan laptop, Sem sudah dengan kameranya. Dan Riky masih membawa ingatan tentang apa yang dipelajarinya pada Ipul.

“Gimana? Mengalami kesulitan?” Tanya Jo mengawali diskusi.

“Wuah seru banget. Gue jadi lumayan mahir sekarang bawa kamera. Nih.. gini caranya.” Sem memperlihatkan keahliannya. Sambil merekam-rekam Jo dan Riky.

“Dapet kaset darimana?” Tanya Riky.

“Ya beli dong. Modal..” Sem bangga.

“Terus, lo gimana Rick?” Tanya Jo.

“Asli. Ngedit film seru abis. Betah gue belajar sama Ipul. Diajarin banyak banget. Sambil praktek juga. Gue udah nyoba ngedit.”

“Ngedit pa aja lo!” Tanya Sem.

“Gue ngedit adegannya Sinta. Gue kasih lagu nyawa hidupnya ada band buat backsound gambar dia.” Ucap Riky sambil membayangkan Sinta.

“Kalo naksir langsung tembak dong. Betah banget jadi pemuja rahasia.” Dengus Sem.

“Ntar lah.” Riky mengela.

“Liat hasilnya dong.” Sem penasaran.

“Penasaran juga lo, Sem!” Riky ketawa kecil.

Kemudian Riky memperlihatkan hasil editannya pada dua kawan seperjuangannya itu.

“Top Cer deh. Lo emang bener-bener naksir tu orang ya?” Sem menyimpulkan.

Riky hanya tersenyum..

“Eh tuh..tuh… Sinta.” Sem menunjuk kea rah Sinta yang lagi lewat.

Riky tambah merekahkan senyum miliknya.

“Wuayoooooooooo!” Teriak Sem sambil mengambil adegan Riky sama Sinta yang emang udah kaya di film-film.

Jo tertawa kecil melihat ekspresi Riky.

“Oke. Kembali ke lap top!” ucap Jo.

Riky dan Sem langsung mendekat ke arah Jo.

“Gini.. besok kita sudah harus terjun ke lapangan.”
“Lapangan? Bego lo! Ngapain ke lapangan? Harusnya kita ambil angle dari terminal sono tuh. Itu kan bisa disebut jalan menuju Kalibening.” Sem memotong pembicaraan.

“Tolol! Lapangan itu Cuma istilah. Maksudnya terjun ke lapangan itu, terjun ke lokasi yang mau kita tuju,” tambah Riky.

Jo cuman geleng-geleng, “Semua udah kudata. Jadi kita tinggal jalan. Kita bagi jadi lima hal. Pekerjaan, solidaritas, masalah desa, pendidikan dan Religi. Kebetulan kan mayoritas beragama islam.”

Riky dan Sem masih mendengarkan dengan seksama data-data yang dibacakan oleh Jo.

“Untuk pekerjaan, kita bisa ambil petani, pedagang, konveksi, dan lain-lain.”

“Bego lo. Tuh data belum akurat. Masak ada dan lain-lain juga.” Sem nyolot.

“Ya ini kan baru sementara. Ntar bisa kita tambahi isi dan lain-lainnya ini. Sekedar antisipasi.” Jelas Jo.

“Ya…ya. Gue Cuman ngetes lo. Oke lanjut” Sem nggak mau kalah ternyata.

“Untuk solidaritas, kita bisa lambil gambar warga yang lagi tolong menolong, melakukan pekerjaan bareng, bareng, ngobrol bareng. Yang ini masuk kegiatan sehari-hari warga. Kita bisa ambil apa aja mengenai solidaritas warga. Untuk malah desa, kita bisa terjun ke bengkok yang kini dijadikan sekolah, belik luwing yang nggak ada air gara-gara mau dialirkan, dan segala macam konflik yang lagi santer di desa ini. Untuk pendidikan, kita bisa mengambil RA Masyitoh, MI asas islam, SD Kalibening, Sekolah kita, Madrasah Dinniyah di pondok, Pondok pesantren Hidayatul Mubtadiien, Pondok Al Yasin, Panti asuhan Ulya, juga SMK. Dan Religi, kita bisa ambil warga yang pada jama’ah, pada syukuran, atau apa saja yang berkaitan dengan ritual dan tradisi masyarakat desa ini. Jadi endingnya itu kita kasih yang mendamaikan hati…”

“Siiiiiiiip, tos dulu dong!” Riky sudah menyiapkan tangannya untuk ber tos dengan dua kawannya.

Di dalam RC, teman-teman sekelasnya ternyata memperhatikan mereka sedari tadi. Mereka tersenyum bahagia melihat kesolid-an mereka dalam menjalani hukuman kelas.

Begitu jam istirahat habis, Jo dan dua kawannya langsung memasuki kelas. Mereka nggak mau telat lagi. Mereka berjalan dengan berwibawa melangkah menuju forum kelas. Mereka sampai kelas sebelum pelajaran berikutnya dimulai. Semua teman sekelasnya dibuat senang oleh kesadaran mereka bertiga.

Mereka memulai kelas mereka. Kegiatan berlangsung cukup lama.

“Jo, giliran kamu dong terangin masalah dunia materi dan energi.” Pinta Zaty.

“Nggak ah. Aku nggak bisa nerangin.” Jo menolak.

“Kenapa? Kita kan juga pengen lo ngomong dan angkat bicara di kelas.” Kata Zaty.

“GUe malu, Sem.” Bisik Jo.

“Yaelah, lo emang nggak berubah kalo di kelas. Tadi aja lo bisa ngomong panjang lebar di depan gua ma Riky. Sekarang perawan banget lo.” Sem menanggapi.

“Ya tapi kan lain. Gue bener-bener nggak bisa ngomong kalo di kelas.” Bisik Jo.

“Makanya, kursus dulu lo ma gue. Biar lo bisa lancar kalo ngomong di kelas. Malu-maluin aja lo.”

“GImana jo? Kok malah bisik-bisik ma Sem.” Luluk mengingatkan.

“Ehmm.. gimana ya..” Jo masih malu-malu.

“Biar gua aja deh yang nerangin. Kalian nggak usah maksa-maksa dong. Emang kalian pada mau kalo gua paksa buat nyabut hukuman kelas buat kita? Enggak kan? Makanya nurut aja…” Sem nyerobot buku tulis pribadi milik Jo.

“Gini ceritanya,” Sem mulai membacakan apa yang ditulis Jo di bukunya, “Manusia, hewan, pohon, bakteri, batu, lautan, udara, bintang dan planet itu, semuanya adalah wujud yang berbeda-beda dari apa yang oleh para ilmuwan di sebut materi. Tau materi nggak lo!” Sem nabok si Ipul dengan buku. Cz dari tadi Ipul malah curhat sama Dodo.

“Tau…” Ipul asal ngomong.

“Apa?”

“Apa tuh…Ehm… ah apa to…” Ipul sok mikir.

“Hah payah lo. Materi itu sesuatu yang mengisi ruang. Masa gitu aja nggak tau.” Sem masih nyolot.

“Lo kok tau Sem?” bisik Jo.

“Ye.. gua kan pinter.”

“Nah sekarang gua mau bacain tulisan Jo mengenai konversi materi dan energi.” Sem meneruskan.

“Makasih ya, Sem.” Bisik Jo.

“Udah, diem aja lo. Gue kan setiakawan, Choy!” Sem terkekeh.

***

Minggu itu sebelum beraksi, mereka ke Kota untuk membeli kaset buat handycam. Setelah itu mereka jalan-jalan lumaya lama di kota. Lantas pulang naek angkutan umum.

Sampai di rumah, Jo melihat kalandernya. Melingkari kalander untuk Minggu pertama. Lantas ia menulis kata “Sukses” memberi garis panah tertuju pada Minggu pertama. Senyum merekah ia tunjukkan sebagai wujud kebahagiaannya.

Hari senin, barulah mereka beraksi. Mengambil adegan-adegan yang telah direncanakan.

Satu hari, untuk satu tema. Sehari itu ful mereka ngeshoot pekerjaan-pekerjaan warga kalibening. Tentang pertanian, perdagangan, kerajinan, pembuatan snack, konveksi, dan segala macam pekerjaan yang dieemban warga. Sem khusus mengambil adegan, Riky jadi reporter sekaligus yang Tanya-tanya sama warga yang ditemui. Dan Jo jatah mencatat-catat.

Sampai rumah, kembali Jo membuka kalander. Melingkari tanggal pada hari itu.

Setelah itu menghidupkan Lap top dan menulis kegiatan hari itu.

Senin => pengambilan gambar pekerjaan warga.

***

Hari selasa, mereka kembali berkumpul.

“Sekarang kita kemana ni?” Tanya Sem yang udah menenteng handycam.

“Sekarang kita keliling, ambil kegiatan solidaritas warga.” Terang Jo sembari membuka catatannya.

Mereka keliling Kalibening dan mengambil adegan-adegan para warga. Dari ujung ke ujung. Mereka susuri desa.

Sampailah mereka di depan rumah Sinta. Kebetulan rumah Sinta adalah warung.

“Eh mampir yuk!” Ajak Riky.

“Nggak usah ah. Bilang aja mau ngecengin Sinta.” Dengus Sem.

“Ayolah… masak sama sobat sendiri lo gitu amat sih.” Riky masih membujuk.

“Yau dah mampir aja yuk. Gua haus banget nih.” Jo membela.

“Ya udah-ya udah… Ayo mampir.” Sem akhirnya setuju.

Akhirnya mereka bertiga jadi juga mampir ke warung Sinta. Kebetulan sore itu, Sinta yang jaga warung.

“Ta’, kita pesen es dong.” Sem memesan.

“Es apa?” Tanya Sinta.

“Apa aja deh. Yang penting cepet saji.”

Jo sama Riky sama-sama cuman diem. Kalo Jo sih emang dasarnya pendiem. Apalagi kalau sama cewek, paling nggak berani ngadepin. Nah kalo Riky, gara-gara ada hati ma Sinta jadi nggak berani ngomong apa-apa di depan gadis cantik itu.

Sem ngajak Sinta ngobrol terus. Sesekali Sinta senyum-senyum sambil tetap membuatkan pesanan.

“Biasanya lo cerewet kalo ma cewek. Kok di depan dia lo jadi nggak gokil gitu sih?” bisik Jo.

“Gue gugup abis,”

“Aneh lo.”

“Mendingan juga gue. Yang begini cuman sama satu cewek. Normal kan? Nah elu? Sama semua cewek nggak berani ngadepin.”

Jo cuman tersenyum kecil tak menanggapi ledekan Riky.

Riky menoleh ke arah Sinta. Sinta yang kebetulan sedang memerhatikan Riky sebentar lantas buang muka dan perhatian kembali tertuju pada Samuel.

Setelah lama berada di tempat Sinta, mereka beranjak pulang.

“Pulang dulu ya, Ta’.”

“Iya…”

Sampai rumah, kembali Jo membuka kalander. Melingkari tanggal pada hari itu.

Setelah itu menghidupkan Lap top dan menulis kegiatan hari itu.

Selasa => pengambilan gambar Solidaritas

***

Set..set…set

Samuel terlihat gesit memperagakan gerakan taekwondonya di depan Pak Achmad selaku pelatih pribadinya.

Pak Achmad yang mengamati, sesekali membetulkan jika ada gerakan yang salah.

“Key, latihan terus ya! Gerakan kamu sudah lumayan,”

“Beres, Pak!”

“Udah segini aja dulu. Besok kita teruskan lagi,” ucap Pak Achmad yang kemudian berlalalu.

Sem masih asik dengan gerakan-gerakannya.

“Sem! Ambil gambar yuk!” Ajak Riky.

“Oke,”

Rabu siang, mereka beraksi kembali. Kali ini mereka hanya butuh waktu sebentar untuk mengambil sesi pendidikan.

Setelah keliling desa, mereka lekas kembali ke sekolah. Meski sore, sekolah masih terbuka buat siswa.

“Hey, ikut ngaji yuk!” ajak Pak Achmad pada mereka bertiga yang saat itu lagi istirahat di depan TU.

Ketiganya langsung adu pandang. Dan memberikan isarat pertanyaan pada satu sama lain.

“Ya pak nanti kita nyusul,” kata Riky mewakili mereka bertiga.

“Butuh ilmu agama nggak lo?” Tanya Sem.

“Butuh-lah..” jawab Riky.

“Kalo gitu kita ikut.” Sem mengajak.

“Yah, kita kan belum sholat asahar.” Jo mengingatkan.

“Ya sholat dululah…” kata Riky.

Bergegas mereka berangkat ke Masjid. Wudhu kemudian sholat.

“Lo aja Jo, yang jadi imam.” Riky menawarkan.

Jo manggut-manggut.

Selesai sholat mereka langsung gabung sama Pak Achmad yang ketika itu membahas soal persahabatan. Padahal sebetulnya tadi Pak Achmad membahas masalah Fiqih yang ada pada kitab Mabadi. Nggak tau dari arah mana, tiba-tiba aja begitu mereka gabung Pak Achmad sudah membahas topik persahabatan.

“Seperti kata pepatah arab, Bersahabat dengan penjual minyak wangi, kita akan menerima percikan wangiannya, manakala bersahabat dengan tukang besi, percikan apinya akan mencarikkan baju kita. Begitu…” ucap Pak Achmad sambil melempar senyumnya. “Dulu, saya pernah diberi pesan pada Ustadz saya. EHm.. kalau tidak salah begini, Sekiranya engkau merasa perlu untuk bersahabat dengan seseorang, maka hendaklah engkau memilih sahabat yang baik.” Ucap Pak Achmad.

“Kalau berteman kan boleh dengan siapapun, Pak.” Minan menanggapi.

“Kalau berteman memang dianjurkan dengan siapapun. Akan tetapi kalau mencari sahabat, tentu lain lagi. Hubungan persahabatan adalah hubungan yang sangat mulia, kerana sahabat berperanan dalam membentuk personality individu.”

“Memang gimana, Pak. Ciri-ciri sahabat yang baik?”

“Jika kita setia kepadanya, dia akan melindungi kita. Jika kita rapatkan persahabatan dengannya, dia akan membalas balik persahabatan kita. Jika kita memerlukan pertolongan darinya, dia akan membantu kita. Jika kita menghulurkan sesuatu kebaikan kepadanya, dia akan menerimanya dengan baik. Jika dia mendapat sesuatu kebaikan dari kita, dia akan menghargai atau menyebut kebaikan kita. Jika dia melihat sesuatu yang tidak baik dari kita, dia akan menutupnya. Jika kita minta bantuan kepadanya, dia akan mengusahakannya. Jika kita berdiam diri karena mungkin malu untuk meminta, dia akan menayakan kesusahan kita.”

Jo, Riky dan Samuel masih memperhatikan dengan seksama.

“Jika datang sesuatu bencana menimpa diri kita, dia akan meringankan kesusahan kita. Jika kita berbicara kepadanya, maka dia akan membenarkan kita. Jika kita merancangkan sesuatu, maka dia akan membantu kamu. Jika kita berselisih faham, maka dia lebih senang mengalah untuk menjaga kepentingan persahabatan. Dia membantu kita menunaikan tanggungjawab serta melarang melakukan perkara buruk dan maksiat. Dia mendorong kita mencapai kejayaan didunia dan akhirat. Begitu…” Tutur Pak Achmad.

“Banyak juga ya, Pak.” Riky geleng-geleng.

“Kalau sampai ada sahabat yang seperti itu. Wuah, tak acungi jempol!” ucap Pak Achmad bersemangat.

“WUah, kita musti kaya gitu, Choy!” Sem menepuk-nepuk punggung dua kawannya.

“Amin,” ucap semua yang ikut ngaji.

Ngaji selesai menjelang Maghrib. Setelah ngaji Jo dan yang lain segera pulang.

Sampai rumah, kembali Jo membuka kalander. Melingkari tanggal pada hari itu.

Setelah itu menghidupkan Lap top dan menulis kegiatan hari itu.

Rabu => pengambilan gambar pendidikan

Lantas menge-clos MS word, pada layar utama terpampang foto Jo denga dua sahabatnya.

***

“Joooooooooooooooooooo” Teriak anak-anak cewek waktu melihat Jo memasuki garasi depan TU pagi itu.

Segerombolan cewek yang tadinya ngobrol-ngobrol tak lepas pandang dari Jo. Mereka emang selalu sengaja bikin Jo jadi serba kikuk.

“CIyeee… mau kemana Jo???” Tanya salah satu diantara mereka.

“Haha… Jo mau pipis.” Seru Upik.

Jo Cuma diem dan segera mencuci tangannya.

Segerombolan anak tadi serempak menghampiri Jo.

“Jooo imut banget sih…” seru Shalma.

Belum sampai mereka di dekat Jo, Sem udah datang.

“Heh..heh..heh. Apa-apaan sih? Ganggu anak orang aja.” Sentaknya.

“Napa lo Sem? Iri?” Upik nyolot.

“Gue kolakin sandal baru tau rasa lo!”

“Wuuuuuuuuuuu,” sorak gerombolan cewek yang lantas milih buat menjauh dari Jo.

“Makasih ya Sem.” Ucap Jo.

“Makanya Jo. Lo harus ilangin sifat malu lo. Kalo cool sih oke. Tapi kalau malu, ya nggak keren dong. Ntar ujungnya kek gini. Lo bakalan digodain terus sama mereka.”

Mereka berdua lekas ke rumah Mbah Lam buat sarapan.

“Sebenarnya gue pengen kaya lo, Sem. Gue pengen pede kaya lo. Ya minimal, gue bisa nyampein sedikit pengetahuan gue ke temen-temen di kelas. Apa gue kelewat bego ya sampe gue nggak bisa.” Jo terlihat lesu.

“Enggok kok, lo tu nggak bego.” Sem menenangkan.

“Thanks ya,”

“Tapi lo itu tolol!”

Jo kaget. Mimik wajahnya seketika berubah jadi mengkeret.

“Enggak-nggak, bcanda kali Jo.” Sem tergelak.

“Gue punya terapi buat anak pemalu kaya lo.” Ucap Sem selanjutnya.

“Apa?” Jo penasaran.

“Gini, kita mulai hari ini aja. Jadi hari ini lo yang coba jadi reporternya. Jadi lo nggantiin Riky buat Tanya-tanya ke warga. Truz, hari ini kan mau ada tamu, lo samperin aja. Lo ajakin ngobrol. Toh lo kan nggak kenal ma mereka. Jadi malu-maluin nggak apa-apalah.”

“Ah ntar kalo nggak bisa ngomong bisa malu gue,”

“Namanya belajar nggak boleh malu, Jo.”

“Ya gue tau. Tapi gue mau ngomong apa kalo ada tamu?” Tanya Jo.

“Lo Tanya kek, dari mana? Terus ada acara apa di sini? Dari mana tahu tentang sekolah kita? Banyak lah. Ntar pasti mereka nanya balik. Terus lo jawab yang lo tau. Kalo nggak tau nggak usah ngarang. Itu terapi buat lo. Ya kalo lo mau…”

“Ya deh, ntar gue coba.”

“Gue yakin lo bisa.” Hibur Sem.

Siang itu saat istirahat. Jo memulai aksinya buat ngobrol sama tamu. Sem dan Riky melihatnya dari jauh. Pertama, Jo keliatan gugup, tegang, dan nggak ada bagus-bagusnya ngobrol sama tamu. Tapi lama-kelamaan Jo mulai kuat mentalnya begitu obrolan mengalir terus.

Riky dan Sem lantas bertos bareng dari jauh. Mereka menunggi Jo sampai Jo selesai ngobrol dengan tamu.

“Saya mau ke kelas dulu ya,” Jo berpamitan.

“Oh silahkan,” tamu itu mempersilahkan.

Setelah melewati pintu, Jo mendapati dua sobatnya masih setiap menunggunya.

“Sip Jo. Baru sekali lo udah bisa gitu. Wuah, lo emang bener-bener pinter.” Sem memujinya.

“Yoi” tambah Riky.

“Tadi pertama gue gugup banget. Asli, gue nyaris nggak bisa ngomong apa-apa. Rasanya pengen ngabur. Tapi kan nggak lucu dan nggak sopan banget kan? Karena itu gue tetap aja di tempat dan berusaha buat betah. Untung tamunya asik diajak ngobrol, jadi bisa ngalir terus. Fiiiuuuuuuuuh,” Jo menghela nafas lega.

Sesaat, mereka kembali ke kelas. Pelajaran sudah hampir dimulai.

“Jo, sekarang tunjukin kemampuan lo.” Usul Riky.

“Nggak ah. Malu gue.”

“Payah lo.” Dengus Sem.

“Pokoknya gue masih malu.”

***

Sepulang sekolah, mereka kembali beraksi. Kali ini mereka mengambil gambar belik luwing serta tanah bengkok yang mau dijadikan sekolah.

Mereka menyusuri jalan yang ada di selatan desa kalibening. Sambil mengambil gambar tanah bengkok yang dijadikan sekolah.

“Rick, lo ntar ngomong gini,” Jo memperlihatkan skripnya.

“OKe,” ucapnya.

“Kamera rolling,” kata Sem, “Action!”

“Lahan bengkok ini dulunya memang bukan tanah yang subur ada masalah pada pengairan. Tanah asset pemerintah ini sudah mulai dirubah. Rencana untuk menjadikannya gedung sekolah tetap berjalan. Pembangunan demi pembangunan masih berlanjut.”

“Cut!” seru Sem.

“Sekarang kita ambil gambar yang di sana,” Jo menunjuk ke sebuah araj arah.

Setelah mengambil gambar-gambar desa, mereka bertiga kumpul di rumah Jo.

“Lo musti buktiin pada kelas Jo, kalo lo itu bukan cowok pemalu.” Ucap Riky.

“GImana?”

“Ya lo musti bisa presentasi dong. Masa dari dulu lo nggak pernah presentasi sih.” Jawab Riky.

“Gua kalau di depan umum masih malu. Cuman di depan kalian aja gue bisa pede,” Jo mencoba menjelaskan.

“Oke kita bakalan bantu lo. Sekarang lo siapin buku, terus lo terangin ke kita berdua tentang pengetahuan apa yang udah lo dapet.” Usul Sem.

“Boleh,”

Jo lekas mengambil buku miliknya. Lantas dengan fasih, dia menjelaskan ini itu sedetail-detailnya.

Biasanya, larva kunang-kunang memilih hewan-hewan kecil sebagai santapannya. Ya tapi jangan dikira, larva ini lebih galak dibandingkan kunang-kunang dewasa.”

“Kenapa ya, di Kalibening jarang ada kunang-kunang?” Sem bertanya.

“Karena di sini udaranya udah nggak begitu alami. Kan udah mulai banyak polusi. Karena warga sendiri udah banyak yang punya kendaraan,” Jawab Jo.

“Nah… pada intinya. Besok lo musti kaya gini kalo di depan temen-temen di kelas. Lo jelasin ke mereka, semua yang udah lo jelasin ke kita tadi. Beres kan? Mudah kan?” Riky bersemangat.

“GUe coba deh,” Jo seperti tak bersemangat. Dia hanya tak enak melihat dua sobatnya yang udah berusaha membantu dia.

Malamnya, kembali Jo membuka kalander. Melingkari tanggal pada hari itu.

Setelah itu menghidupkan Lap top dan menulis kegiatan hari itu.

Kamis=> Masalah desa.

Sebelum tidur, Jo baca buku-bukunya. Emang udah jadi makan malamnya acara baca buku kek gitu.

Sesaat, bunyi ringtone sms pada hp Jo berbunyi. Sesegera ia raih hpnya meski tak begitu bersemangat. Ia membuka, sebuah nomor tak dikenal sms.

Hay Jo. Gw adek kelas lo. Dulu sih, gwe ngefans sama lo. Tapi setelah tahu ternyata Lo sama Sem itu HOMBRENGS. Gw jadi illfeel. Dasar HOMO!

Ada susulan sms lagi, dengan nomor yang tak dikenal lagi.

HEH! Pantes aja lo nggak pernah gaul ma cewek. Nggak suka cewek ya. HOMO lo!

Lagi-lagi ada sms dengan nomor yagn beda lagi,

LO emang pinter, keren, tapi kok homo ya… sama Samuel lagi. Igh…

SMs semakin membanjir. Jo tak habis pikir. Otaknya kaya diorak-arik malam itu.

Jo yang emosi langsung bales sms-sms yang meneror dirinya,

Siapa bilang gue homo?

Ia menunggu jawaban, sesaat hpnya kembali berdering.

Gw sih cuman denger waktu teman-teman sekelas lo pada ngomongin lo. Katanya di kelas, lo juga dekeeet banget sama Sem. Dan TERNYATA… igh.. Najis

Kapan mereka ngomong gitu?

Kemaren waktu mereka kumpul di rumah Mbah Lam. N bukan Cuma cewek yang ngira lo gitu. Cowok2 kls lo jg…

GUe nggak homo!

Nggak usah munafik deh, orang kata orang2 yang ngomong pertama aja Sem kok. Lo tu Homo.. homo aja lo. Nggak usah JAIM.

Sem?

Iya. SAMUEL. Itu lho cowok yang lo taksir. Yang ngaku jadi sahabat lo. Padahal sebenernya tuh anak pengen ngancurin lo. Hahaha.

Dia itu sahabat t’baik gue.

Hallah. Homo ya homo. Kabar lo tu udah nyebar di sekolah. Ksian banget lo! Dasar HOMO!

***

“Ntar Jo mau presentasi katanya,” Riky udah mulai promosi pagi itu sebelum pelajaran dimulai, juga sebelum Jo datang.

“Ha? Jo?” Ida kaget.

Semua yang mendengar nyaris nggak percaya.

Sudah memasuki jam pelajaran. Jo belum juga Nampak. Sem yang udah nggak sabar langsung call Jo.

“Lo kok lum brangkat Jo?”

“GUe udah di depan TU.”

“Lo udah ditunggu.”

“IYa.. bentar cerewet banget sih lo.” Sentaknya yang seketika langsung mematikan hpny.

“CIyeeeeeeeeeeee, pasti dari yayank Sem ya.” Sorak gerombolan cewek-cewek.

Jo langsung meninggalkan tempat itu dan segera menuju ke kelasnya.

Sem menurunkan hpnya dengan wajah serba heran. Kemudian lekas menduduki tempat duduknya kembali.

“Kenapa, Sem?” Tanya Riky.

“Nggak papa, bentar lagi Jo ke sini.”

Sesaat, suasana kelas jadi sepi begitu melihat kedatangan Jo yang katanya hari ini mau presentasi.

Tapi tampang Jo kali ini sangat tidak bersahabat. Tatapan keangkuhan dan kebencian seperti menyala-nyala di matanya.

Bahkan, Jo lebih memilih duduk menjauh dari teman-teman sekelasnya.

“Jo, katanya hari ini lo mau presentasi?” Tanya Ida.

“Bodo’,” dengusnya angkuh.

Sem datang menghampiri Jo.

“Lo napa sih, Jo?” Tanya Sem.

Dengung bisik-bisik membahana di kelas saat itu. Jo melihat gelagat aneh yang ditunjukkan teman-teman sekelasnya begitu melihat Sem menghamrpirinya.

“SOk perhatian banget sih lo.” Sentak Jo.

“Jo.. kemaren lo bilang…” Sem menepuk pundak Jo.

“Hah…! Urusan! Presentasi aja sendiri.” Jo membanting tangan Sem kemudian berlalu meninggalkan kelas.

Riky menghampiri Samuel yang terpaku menyaksikan kepergian Jo.

“Dia kenapa?” Tanya Riky.

“Gue nggak tau. Apa gue terlalu maksa dia ya?”

“Udahlah, paling Cuma salah paham.” Riky menghibur.

“Tapi kemaren kan dia nggak kaya gitu. Dan nggak biasanya dia gitu,”

“Lagi ada masalah kali.”

***

“Jo, hari ini kita cabut kemana?” Tanya Sem yang waktu itu menghampiri Jo bareng Riky di ruang perpus.

“Ini sesi terakhir. Temanya religi,” ucap Jo tak dengan masih asik membaca buku.

“Ooo, jadi ini sesi terakhir?” Sem memastikan.

“Ya tadikan gua dah bilang. Ini SESI TERAKHIR.” Terang Jo sedikit kesal.

“Iya.. iya. Gitu aja marah lo.”

“Lo kalo marah tambah jelek Jo!” Goda Riky.

Jo tetap tak peduli.

“Muka kok ditekuk. Ketawa dong, Jo. Ketawa…” Ajak Riky.

“Jo lagi patah hati ni kayanya,” Sem ikut menggoda.

“SOry, gue jadi nggak konsen baca nih.” Jo masih kesal. Kembali ia alihkan perhatiannya ke skrip miliknya.

“Lo napa sih Jo?” Tanya Sem.

“Lo nggak tau gua lagi apa? Gua lagi baca, jadi jangan ganggu gua.” Sentaknya.

“Oke, oke. Kita pergi…” ucap Riky agak kecewa.

“Tapi…” Belum selesai Sem meneruskan kata-katanya, Riky sudah mengeluarkan isyarat untuk mengajaknya pergi dari perpus. Akhirnya Sem mau juga diajak pergi dari tempat Jo berada.

***

“Kita ambil gambar yang pada ke mesjid,” ucap Jo tanpa melihat ke arah Sem dan Riky.

“Oke, kita cabut!” Sem masih mencoba mencairkan keadaan.

Mereka mengambil gambar orang-orang yang pada berangkat Jum’atan.

Setelah jum’atan mereka keliling mengambil gambar lagi. Jo masih dalam keadaan super kesal. Sementara Sem dan Riky masih berusaha menetralisir keadaan dengan kegokilannya. Tapi tetap saja, Jo tidak terpengaruh sama sekali dengan kekonyolan dua sobatnya itu. Sepertinya terror SMS semalem sangat berpengaruh pada dirinya.

“Terus, kemana lagi Jo?” Tanya Sem begitu selesai mengambil adegan jama’ah.

“Kita ke pondok, ke madrasah, pokoknya kita cari temapat-tempat yang berbau religi.” Jawab Jo dengan gelagat super cool dan masih menunjukkan muka masam.

“Oke deh…” tanggap Sem masih mencoba sabar dengan apa yang Jo lakukan.

“Hari ini kita ikut ngaji pak Achmad yuk!” Ajak Riky begitu selesai mengambil beberapa gambar.

“Wuah siiip. Inikan kita itungannya udah tahap ending pengambilan gambar. Jadi sekarang saatnya kita ngaji lagi. Kita juga bisa ambil kegiatan ngaji kita.” Sem bersemangat.

“Kemarin waktu kita ngaji kan udah diambil,” Jo menanggapi tanpa melirik ke arah Sem.

“Iya sih. Tapi ya nggak apa-apa kan kalo diambil lagi.” Tawar Sem.

“GImana? Kita jadi ngaji?” Tanya Riky bersemangat.

“Gua lagi ada acara di rumah.” Ucap Jo sinis kemudian berlalu meninggalkan dua sobatnya.

Sem Cuma angkat tangan dan angkat bahu, sudah nyerah dia buat membujuk si Jo.

Malamnya, kembali Jo membuka kalander. Melingkari tanggal pada hari itu.

Setelah itu menghidupkan Lap top dan menulis kegiatan hari itu.

Jum’at=> Religi

Setelah itu, ia menyandarkan dirinya di tembok kamar. Mengingat kejadian pada hari itu. Terlintas bayangan Sem yang dari tadi berusaha menyapanya.

Jo mengambil foto jo dan dua sobatnya yang ia letakkan di meja.

Tatapannya terarah pada Sem,

“Huh! Terus aja lo pura-pura baek ma gua. Lo kira gua tolol apa bisa ditusuk terus dari belakang. Pakek ngatain gua homo lagi. Dasar…” Jari jo nunjuk-nunjuk ke arah foto Sem.

***

Pagi yang masih menyisakan kesejukan. Kelas ideal sudah memulai pembelajaran hari itu.

“OH ya temen-temen, sekarang kita kedatangan anak baru. Pindahan dari Semarang. Lebih lengkapnya kita bisa tanyakan langsung pada yang bersangkutan.” Ucap Zaty memperkenalkan seorang anak baru. “Ayo De, kenalin diri kamu lebih lengkap.” Bujuk Zaty pada Ade, anak baru itu.

“Oke.” Ade mulai angkat bicara. “Assalamu’alaikum warohmatullohi wabarokatuh,”

“Wa’alaikum salam warohmatullohi wabarokatuh,” Jawab semua anak keals.

“CUkup panggil saya Ade. Saya pindahan dari Semarang. Saya pindah ke sini karena ingin merasakan dunia baru di sekolahan non formal. Dan tentu saya ingin merasakan kebebasan mencari ilmu,” tutur Ade.

“Ade ini jago banget di bidang science. Jadi nanti untuk pelajaran science kita bisa kasih dia job jadi leader kelas.” Kata Ida menambahi.

Ade hanya menunjukkan senyum sinisnya. Mungkin itu ciri chas anak itu.

***

“Jo masih marahan sama lo, Sem?” Tanya Riky waktu makan di rumah Mbah Lam di jam istirahat.

“Tau tuh. Gua nggak tau salah gua apaan ke dia.” Jawab Sem dengan maih menikmati maSintannya.

“Samperin dia yuk!” ajak Riky.

“Boleh.” Ucap Sem menyetujui.

Sementara itu, di perpus, kini Jo tidak sendirian. Ade yang ternyata memiliki kesamaan dunia dengan Jo kini mulai akrab sama Jo. Mereka berdua mulai akrab dengan obrolan-obrolan seputar science. Keduanya membawa buku panduan masing-masing.

“Eh, Jo. Lo cerita dong tentang sobat-sobat lo tadi. Keknya tadi lo ceritanya lum selesai.” Ade mengingatkan.

“Emang kenapa? Kok lo penasaran gitu?”

“Ya pengen tau aja sih. Habisnya lo tadi tiba-tiba cerita tapi nggak tuntas gitu sih,”

“Gua nggak tau kenapa tiba-tiba benci banget sama Sem. Seperti yang gua bilang tadi. Ini bermula dari terror sms malam itu.” Jo bercerita.

“Kok sobat lo bisa setega itu menghina diri lo. Masa iya lo dikatain homo. Sahabat apaan tu,” Ade ikutan emosi.

“Makanya gua marah,”

“DIa itu bukan sahabat yang baik. Di dunia ini banyak kepalsuan. Lo kalo nggak pinter-pinter milih, bisa kacau sendiri lo,” Ade mengingatkan.

“Sepele sih sebenernya masalah gue. Cuman gara-gara terror sms. Tapi gua terlancur benci sama si Samuel.”

Dari luar, Riky dan Sem yang tadinya mau menghampiri Jo akhirnya terhenti untuk mendengarkan dialog mereka berdua.

“Udah. Lo jangan mau diperalat sama dia lagi. Sekarang kan ada gua. Jadi lo udah punya temen. Lagian, kita kan satu dunia. Sem itu nggak bisa ngertiin lo. Sobat apaan tuh. Masak kaya gitu..,”

Dialog Ade yang sangat tertangkap jelas oleh terlinga mereka berdua begitu membuat mereka mendidih.

“Kurang ajar,” Dengus Riky.

Tanpa berkata apapun, Sem udah cabut gitu aja. Langkahnya tertuju ke ruang atas. Sem kemudian bernaung di teras atas disusul Riky.

“Udah. Lo jangan mau diperalat sama dia lagi. Sekarang kan ada gua. Jadi lo udah punya temen. Lagian, kita kan satu dunia. Sem itu nggak bisa ngertiin lo, sobat apaan tuh. Masak kaya gitu…” kata-kata Ade itu masih teringat di kepala Sem.

“Udah Sem, Lo sabar.” Riky mengingatkan seraya menepuk-nepuk pundah Sem.

“Kok Jo bisa curhat sama Ade masalah gua. Sementara gua sendiri nggak tau masalahnya apaan.” Ucap Cem antara sedih dan kesal.

“Kita tunggu sampe dia mau ngomong aja-lah,” tawar Riky.

“Imposible dia mau ngomong tanpa kita ajak ngomong duluan.” Sem meragukan.

“Ya kita tunggu sampe hatinya tersaji. Sekarang mungkin masih emosi,”
“Bolehlah...” Ucapnya seolah putus asa, kemudian berlalu.

Jam istirahat buat anak kelas empat tinggal sebentar. Beberapa anak di kelas udah siap mengikuti pelajaran selanjutnya.

Samuel sama Riky udah di kelas. Keduanya masih menyempatkan diri buat bercanda. Lantas canda tawa itu terhenti begitu melihat Jo memasuki kelas bersamaan dengan Ade.

Tatapan Sem mengarah pada mereka berdua. Tatapan yang menunjukkan isyarat kurang menyukai adanya Jo dengan Ade, mengingat apa yang sudah Ade katakan di perpus tadi.

***

“Trus mau digimanain film kita?” ungkap Sem sambil menimang-nimang handycamnya ketika berada di kamar ruang atas sekolah bareng Riky.

“Kita capture dulu. Ntar baru kita edit. Beres kan? Semua adega kan udah terekam.” Usul Riky.

“Masalahnya yang tahu soal alur cerita documenter ini tu si Jo. Nah sekarang dianya malah nggak dateng. Gua sms nggak dibales terus.”

“Ya terus mau gimana lagi?”

“Bodo amat lah. Kita tunggu sampe dia nggak emosi aja.” Ucap Sem.

Riky menghela napasnya…

“O ya, gimana lo sama Sinta?” Sem mengalihkan pembicaraan.

“Ya masih gitu-gitu mulu.”

“Gua punya nomernya lho.” Kata Sem.

“Yang bener?” Riky bersemangat.

“Masa gua boong. Gua kan detektif jadi bisa ngelacak nomor-nomor anak QT.”

“Anak satu sekolah aja belum ada yang dapet nomor dia. Kok lo udah dapet?” Tanya Riky.

“Samuel…” Sem membanggakan dirinya.

“Minta dong.” Pinta Riky.

“Eitz… tunggu dulu. Ni nomer mahal banget. Nggak bisa didapetin sembarang orang.”

“Sama sobat sendiri juga lo. Perhitunga banget.” Dengus Riky.

“Emang lo cinta banget sama dia , Rick?” Tanya Sem rada serius.

“Semakin gua pendem. Perasaa gua ma dia makin meningkat. Seharian nggak liat dia, rasanya bisa lemes sendiri. Gua jadi tambah semangat kalau keinget sama senyumnya.” Ucap Riky yang angannya mulai terbang.

Keduanya seketika sama-sama flashback mengingat senyum indah gadis itu.

Hanya sesaat. Sem yang tersadar buru-buru berusaha membuang lamunannya meski tadinya ia sempat tersenyum kecil.

Sementara Riky masih dengan senyumnya yang tak berhenti.

“Heh! Ngelamun aja lo!” Sem mengagetkan.

“Gua perlu waktu tepat buat nembak dia.” Ungkap Riky.

Sem yang sempat mengekeret buru-buru menutup-nutupi perasaannya yang sebenarnya di hatinya juga telah bersinggah nama Sinta.

“Cepetan kalo mau nembak. Keburu disamber orang. Gua dukung lo, pren!”

“Pasti! Pasti bakalan gua tembak. Secepatnya…”

Sem hanya manggut-manggut antara rela dan tak rela. Tapi ia berusaha menahan hatinya untuk memberi kesempatan pada Riky masalah Sinta. Dia nggak mau kehilangan sahabatnya lagi.

“Gua cabut dulu ya. Ntar nomor Sinta lo kirim ke gue, oke?” Kata Riky.

“Nggak janji,” ucap Sem,

“Yah, kok lo gitu.” Riky kecewa.

“Iya.. iya.” Sem ngalah.

“Gitu dong. Gua cabut sekarang,”

“Filmnya?”

“Handycamnya gua bawa aja. Gua capture dulu. Ntar ngedinya nunggu si Jo.”

“BOlehlah.” Sem pasrah.

Begitu Riky berlalu, ia membuka sebuah buku miliknya. Bukan untuk dibaca tapi sekedar melihat seulas foto Sinta yang ia sembunyikan di foto itu.

Ia menghela napas sebentar begitu mengingat kata-kata Riky yang barusan sempat terlempar. Segera setelah itu, Sem menutup buku tersebut. Menyandarkan tubuhnya di tembok dan mencoba merasakan apa yang telah menimpanya saat itu.

***

“Sem, ada titipan buat lo.” Emy memberikan sebuah amplop untuk Sem pagi itu di depan RC.

Dengan wajah bertanya-tanya, Sem menerimanya.

“Dari siapa?” tanyanya masih belum tahu.

“BUka aja.”

“Thanks ya,” ucap Sem.

“Key. Aku cabut dulu ya.”

“Yup…”

Sem yang kebetulan masih sendirian, segera membua amplop tersebut. Membuka sepucuk surat yang belum juga ia ketahui pengirimnya.

Samuel,

GOsip mengenai kamu yang Homo kini cukup senter di sekolah…

Sem hanya mengerutkan kening membaca tulisan pertama pada surat itu. “Homo???” Tanyanya dalam hati.

GOsip itu sempat merombak persaanku. Mematahkan hatiku, dan membuatku sakit…

Sakit karena karena kenyataannya hati ini masih merasa. Malah perasaan ini semakin kuat.

Batin ini berontak pada gossip itu.

Aku yakin, bukan itu yang terjadi.

Memendam memang melelahkan. Bahkan terlalu menyakitkan karena semakin hari, perasan ini semakin kuat.

Aku tak merasakan ini sebelumnya.

Bahkan aku sempat mengingkarinya

Barusaha kuat kutolak perasaan ini.

Tapi seiring waktu yang terlewati, perasaan ini tak juga hilang.

Kau mengusik hariku, kau mengusik waktuku, kau mengusik segala aktifitasku.

AKu tak tahu mengapa rasa ini terus berkelanjutan. Padahal dulu kukira ini hanya simpati biasa. Tapi kenyataanya mengapa ini menyiksa?

Entahlah…

Kuharap kamu bisa mengerti…

Bahwa kini, kaulah yang terpilih untuk singgah di hatiku.

Sem sedikit menarik senyum simpulnya. Mengingat gadis yang telah memasuki hatinya, ternyata memiliki perasaan yang sama.

AKu menuggu jawabku, karena aku yakin kamu tak seperti yang mereka katakan. Aku percaya…

Salam manis,

Sinta

Segera ia tutup surat itu. Pikirannya semakin kacau. Mengingat Riky yang sangat berharap pada Sinta, mengingat perasaannya, juga mengingat anggapan Sinta setelah itu jika ia tak memberi respon.

“Hay Sem! Tumben pagi-pagi udah nongol!” Sapa Riky dari kejauhan.

Buru-buru ia masukkan surat tersebut di saku miliknya.

“Gimana filmnya?” Tanya Sem begitu Sem sampai di hadapannya.

“Udah gue capture. Sekarang kita tinggal menunggu Jo.”

Sem hanya mengangguk. Seperti ada rasa bersalah pada Riky. Nyaris ia tak bisa berkata apapun. Hatinya berdebar kencang, dan tubuhnya panas dingin campur lemes.

“Sem, liat tuh!” Riky memberi isarat ke arah Jo dan Ade.

“Mereka udah akrab ya. Biarin aja.” Kata Sem mencoba tegar.

“Tapi masak dia nggak ngasi alasan kenapa dia tiba-tiba berubah gitu.” Riky kurang suka.

“Gue nggak pengen liat yang kaya gini. Persahabatan itu butuh keterbukaan, ketulusan, kesetiakawanan, dan itu semua harus kita lakukan hanya dengan cara bagaimana kita mempertahankan persahabatan itu sendiri.” Tutur Sem.

“Apa yang harus kita lakukan?” Riky bertanya.

“Kita dekati dia. Ajak dia komunikasi.”

“Tapi gimana caranya?”

“EHm.. giman kalo ntar kita pura-pura minta dia buat ngajarin cara pemecahan soal matematika. Dia kan jago tuh.” Usul Sem.

“Kalo dia nggak mau?”

“Ya kita coba dulu.“ kata Sem.

Begitu jam istirahat. Sem menghampiri Jo di perpus yang kebetulan masih sama Ade.

“Jo, bisa Bantu gua nggak?” Tanya Sem tiba-tiba.

Sontak Jo langsung menatap ke arah Sem tanpa memberikan satupun kata buatnya.

“GIni Jo. Ini darurat. Gua nggak bisa mencahin soal yang ini. Lo kan pinter, ajarin gua dong.” Bujuk Sem.

Jo mengalihkan perhatiannya ke buku danpa mempedulikan Sem.

“Gua ajarin ya.” Tawar Ade.

“Hah males.” Sentak Sem, kemudian berlalu.

Ade hanya geleng-geleng kepala.

Hari berkutnya, Sem masih berusaha mengambil hati Jo yang masih belum tersaji. Dia lakukan apa saja untuk Jo.

Mulai dari membuatkan es buat Jo ketika di rumah Mbah Lam. Memberikan internet pada Jo ketika tahu Jo membutuhkannya. Dia tak membiarkan Jo ngantri lama sama Ipul. Memberikan buku tentang science buat Jo, meski akhirnya Jo menolaknya bahkan tak mempedulikannya. Bahkan suatu hari, Sem dan Riky juga rela membersihkan ruang perpus biar nyaman ditempati Jo.

“Kok tumben perpusnya rada bersih,” kata Jo.

Sem dan Riky yang masih dengan peralatan bersih-bersih menyaksikannya dari luar.

“Iya nih,”

“Gua acungin jempol deh sama yang bersihin perpus.” Kata Jo.

Sem dan Riky sama-sama merekahkan senyum di balik kaca perpus.

“Tadi yang bersihin Mas Riky sama mas Sem.” Kata salah seorang anak kelas satu SMP yang lagi baca komik.

“Ooo, mereka.” Jo langsung memasang wajah tak mengenakkan.

Sem dan Riky langsung mengkeret. Senyum yang telah merekah jadi senyum yang pahit.

***

DI waktu yang lain, Sem dan Riky menyempatkan diri membaca buku-buku science. Tujuannya biar kalo ngomong sama Jo bisa nyambung. Dan biar Jo nggak bosen temenan sama mereka.

Di waktu yang besamaan, Jo dan Ade lagi asik main internet di depan RC.

“Jo. Gua kira sahabat lo baek-baek. Kalau gue liat, mereka berusaha buat mempertahankan persahabat kalian. Menurutku, lebih baik lo udahan aja marahnya.”

“Tapi gue masih kesel.”

“Gue percaya. Kalau sebenarnya Sem itu nggak seperti yang lo kira. Lo kan baru tau dari gossip. Tentang Sem yang homolah, Sem yang cumin mau manfaatin lo, Sem yang ini, Sem yang itu. Nah, lo sendiri nggak tau kan benernya kek gimana,” Ade menasehati.

“Terus gue musti gimana? Minta maaf?”

“Mungkin. Tapi menurutku lo itu butuh ngobrol sama sobat lo. Biar jelas dan nggak salah paham. Kalau missal semua yang dituduhkan pada Samuel itu hanya fitnah belaka. Kan kamu juga nantinya yang bakalan nyesel,” kata Ade dengan masih asik berkelana di dunia maya.

“Ya ntarlah kalo ada waktu yang tepat gue ajakin mereka ngomong,”

“Nah. Gue udah dapat datanya nih.” Ujar Ade tiba-tiba, menyimpang dari pembahasan semula.

“Copy semua De,” kata Jo bersemangat.

“Jo, kita sekarang udah tau lo soal pertanian dan konservasi.” Tutur Riky tiba-tiba begitu menghampiri Jo .

“Iya. Kita juga udah tahu soal monokultur.” Sem menambahi.

“Kita udah pinter kok Jo.” Susul Riky.

“Ajakin mereka ngobrol sekarang aja.” Bisik Ade.

“Nggak ah, males.” Dengusnya angkuh.

“Fiuuuuuuuuuuuuh, Sabar…sabar..” Ucap Sem seraya mengelus dadanya.

“Cabut aja yuk! Jo udah nggak asik.”

***

Setelah sholat dzuhur, Sem dan Riky duduk di teras masjid. Seat dari

Pintu samping Jo memasuki masjid tanpa diketahui oleh mereka berdua.

“Kita mau gimana lagi menyikapi Jo?” ucap Riky.

“Entahlah,” Sem nyaris putus asa.

Mendengar namanya disebut, Jo berhenti di dekat pintu. Sengaja bersembunyi dan mendengarkan dialog mereka berdua.

“Dia udah akrab ma Ade. Jadi mana sudi dia sahabatan sama kita,” kata Riky.

“GUe sih nggak apa-apa dia akrab sama siapa aja. Tapi paling nggak dia nggak usah pakek acara marah sama kita. Kalau gini kan kita juga yang bingung. Gue juga nggak tau kenapa dia benci banget sama gue.” Sem mulai menunjukkan kesedihannya. Dia berusaha menahan perih di hatinya mengingat kebencian Jo.

“Gimana kalo kita jauhkan Ade sama Jo. Kita hajar Ade biar tu anak nggak macem-macem.” Usul Riky.

Jo yang mendengar dialog barusan nyaris naik darah. Wajahnya isyaratkan ketidaksenangannya mendengar kata-kata Riky barusan.

“Nggak adil namanya.”

“Tapi Ade udah merebut sahabat kita.” Kata Riky.

“Kita nggak berhak untuk itu,” tutur Sem bijak.

“Gue udah bener-bener sakit hati sama kelakukan Jo. Kita kan juga punya perasaan. Rasanya sakit Sem. Gue udah nggak tahan.”

“Lo tau, kenapa kita menutup mata ketika kita menangis? Kenapa kita menutup mata kalau membayangkan sesuatu?” Tanya Sem.

“Apa?”

“Hal-hal terindah di dunia ini biasanya tak terlihat.” Sambung Sem.

Riky mengerutkan kening. Seperti ingin mendengar kata-kata Sem selanjutnya. Jo juga udah siap pasang kuping.

“Ada hal-hal yang tidak ingin kita lepaskan dan ada orang-orang yang tidak inign kita tinggalkan. Tapi buat gue, melepaskan bukan berarti akhir dari dunia. Melainkan awal dari kehidupan yang baru.”

“Apa kita akan merasa bahagia?” Riky bertanya.

“Kebahagiaan ada untuk mereka yang telah menangis. Kebahagiaan ada untuk mereka yang telah tersakiti. Kebahagiaan ada untuk mereka yang telah mencari dan mencoba. Karena merekalah yang bisa menghargai betapa pentingnya orang yang telah menyentuh hidup mereka.”

“Tapi,bagaimana dengan persahabatan kita, Sem?”

“Ada yang pernah bilang, Sahabat itu adalah, ketika kamu menitikkan air mata. Tapi kamu masih tetap peduli terhadapnya. Sahabat adalah ketika dia tidak mempedulikanmu, kamu masih menunggunya dengan setia. Sahabat adalah ketika dia sudah bersama yang lain, kamu masih bisa tersenyum dan berkata. Aku turut bahagia.” TUtur Sem dengan menatap arah lain, “Setidaknya kita sudah mempertahankan Jo, kan?” Sem mulai menatap ke arah Riky meski masih dengan tatapan lesu.

“Tapi, kita gagal dong jadi sahabat sejati.” Kata Riky.

“Sahabat sejati bukan hanya ketika bersama, tapi di sini. Di hati,” ucap Sem seraya meletakkan tangan di dadanya. Kemudian dia berlalu.

“Puitis juga lo,” kata Riky yang kemudian menyusul Sem.

Jo terkulai lemah di dalam masjid. Dia menyandarkan kepalanya di tembok, memejamkan mata dan meresapi apa yang telah Sem katakan barusan. Menghempas napas pelan-pelan dan merasakan sesak di hatinya.

Segera ia beranjak, berdiri, ambil posisi untuk sholat, menenangkan hati, dan meluruskan niatnya untuk sholat.

***

Malam yang masih mengantarkan kesedihan. Jo membuka kalander dan melingkari hari-hari yang terlewati tanpa berproses dalam film.

“Apa gue egois ya?” ucapnya merasa bersalah.

“Mereka kan nggak mungkin bisa ngedit tanpa skrip gue,” Jo berpikir, “Dua hari lagi deadline pengumpulan karya hukuman. Mampus gue!”

Jo membuka laptop, membuka jadwal kegiatan yang telah ia tulis di situ. Ia berencana membuat agenda berikutnya. Tapi malam yang menyedihkan itu, membuat Jo tak bisa berpikir jernih. Tak ada satupun kata yang berhasil ia rangkai jadi kalimat. Begitu muncul ide, langsung tertabrak pada bayangan sahabat-sahabatnya. Juga kenangan bersama mereka.

Jo juga terbayang mengenai masalah-masalah yang lalu semenjak ada terror sms buat Jo. Pikirannya tak bisa berhenti buat flashback terus.

Dia juga mengingat kata-kata pak Achmad yang sempat menyebutkan cirri-ciri sahabat yang baik. Sebagian besar yang telah disebutkan, ada pada diri Sem, sahabat yang selama ini telah dibencinya.

Sem yang selalu melindunginya, Sem yang selalu mempertahankan persahabatannya. Sem yang selalu menolongnya. Sem yang selalu berbuat baik padanya juga selalu berusaha memberikan yang terbaik. Sem yang selalu mengusahakan kalau Jo meminta bantuan. Bahkan ketika tidak diminta, Sem juga sering membantu Jo.

***

Pagi-pagi sekali, Jo terlihat sendirian di perpus tanpa Ade. Kebetulan aja, Gengnya Dion lewat. Ngeliat Jo yang sendirian, mereka nyamperin gitu aja. Biasalah, ngapain lagi kalo bukan nggodain Jo.

“Rajinnya,” sapa Anton.

“Gua juga pengen baca dong.” Dion main rebut buku Jo.

“Balikin dong.” Jo marah.

“Perawan mana bisa ngelawan!” sentak Andre.

Jo diam. Sesaat kembali ia ambil buku lain dan membacanya.

“Ini juga bagus,” Anto main serobot gitu aja.

“Mau kalian apa sih?” Jo berusaha ngelawan.

“Haaaaaah, gitu aja marah,” Goda Dion.

Jo tak bisa berkata-kata lagi. Mulutnya nyaris terkuci rapat.

“Rambut lo keren juga, Jo.” Ucap DIon membelai-belai rambut Jo.

“Tapi bakalan tambah keren kalo…” Anton memasang senyum sini sesaat, yang kemudian mengambil sebuah gunting di tasnya, “Kita potong..”
“Jangan…he..jangan.” Jo mengela.

“Hah, diem aja Lo.” Sentak Anton.

“Gua nggak mau.” Seru Jo.

“Tenang aja. Ntar lo makin ganteng Jo.” Andre menambahi.

“Jangan dong… aduuuh plis jangan dong.” Jo ketakutan banget.

“HEH!” Sentak Samuel dengan suara menggetarkan.

“Lo lagi, Yon. Nantangin gua lo?” Sem bener-bener emosi tatapannya tertuju pada Dion.

“Nggak, tadi gua Cuma..” DIon gugup.

“Gangguin Jo sama aja nantangin gua ngerti lo,”

“Perawan kek gitu emang pantes diganggu. Lagian lo mau aja temenan sama anak cupu kek dia,” Anton ceplas-ceplos.

“BUG” Kepalan tangan Sem udah melayang ke arah Anton.

“Jaga mulut lo!” Sentaknya.

Anton meringis kesakitan.

“Pergi lo semua!” Sentak Sem.

Ketiganya pergi sebelum Sem tambah emosi.

Setelah ketiganya pergi, Sem langsung keluar perpus tanpa melihat ke arah Jo.

Jo sendiri cuman bengong, nggak tau musti ngapain.

Kelas belum dimulai pagi itu. Sem dan Riky udah duduk di forum menunggu acara kelas dimulai.

Sesaat, terlihat Jo menghampiri mereka.

“Sem, tadi makasih ya,” ucapnya.

“Sama-sama,” jawab Sem tak bersemangat.

“Gue minta maaf. Gue udah salah sangka sama lo, Sem. Gue emosi ma lo, karena gue kira lo yang nyebarin gossip kalau kita Homo,”

“Homo?” Sem kaget.

Riky juga ikut kaget.

“Gue emang tolol. Mau aja gue kemakan sama gossip. Gue nyaris nyia-nyiain sahabat sehebat lo!” ungkap Jo.

“Emang siapa yang bilang kalo kita Homo?”

“Waktu itu ada terror SMS dari banyak anak. Yang ngatain kalau kita Homo. Dan katanya yang nyebarin gossip ini, lo sendiri. Makanya kemaren gue emosi banget sama lo.” Jo mengaku.

“Gue nggak mungkinlah nyebarin gossip gituan. Gila kali ya.”

“Dan gue kira, lo mau sahabatan sama gue, karena lo penen manfaatin gue dong,” tutur Jo.

“Sesama sahabat kan emang diciptakan buat saling memanfaatkan, Jo. Itulah guna sahabat,” Riky menambahi.

“Bisa aja lo,” kata Jo.

“Oh, iya! gue ngomong gini, dari hati, friend.” Riky bangga.

“Maafin gue ya Sem, RIk...”

“Oke… maafin kita juga, Jo.” Jawab Sem.

Kemudian mereka bersalaman.

“Eh Sinta ngirim surat buat Sem lhooow,” Ucap Ipul menengahi dialog mereka.

SOntak Sem tercegak. Riky pun langsung mengalihkan perhatian ke Sem dengan wajah kagetnya.

“Apaan sih lo!” sentak Sem ke Ipul.

“NI, gue nemu surat ini di buku lo.” Ipul membuka surat itu.

“Ciyeeeeeeeee, Seeeem.” Sorak sema anak.

“Dear Samuel,” Ipul membacanya keras-keras di kelas.

“Wuuuuuuuuuuuu,” Sorak semua anak.

Sem tertunduk lemas. Begitu pula dengan Riky.

“GOsip mengenai kamu yang Homo kini cukup senter di sekolah. Hahaha… HOMO!” Ipul tergelak disusul tawa dari anak-anak kelas.

“Haha, mungkin gara-gara waktu Ipul iseng nggosipin Jo sama Sem kali ya,” Zaty menambahi.

“GOsip itu sempat merombak persaanku. Mematahkan hatiku, dan membuatku sakit…”

“CIyeeeeeee, so sweeet.” Ungkap salah seorang anak.

“Gue bacain terakhirnya ya,” ucap Ipul, “Kuharap kamu bisa mengerti…

Bahwa kini, kaulah yang terpilih untuk singgah di hatiku.”

Riky langusung membuang muka begitu Sem melihatnya. Menghela napas sebentar lantas beranjak keluar dari kelas denga wajah sengit.

“Eh, lo bertiga filmnya mana? Waktu kalian tinggal hari ini dan besok. Jadi lusa kalian harus sudah mengumpulkan,” kata Ida.

“Bagus lo semua! Bagus… Nggak perasaan! Pada nggak punya ati lo pada!”

Kelas jadi membisu mendengar sentakan dari Sem yang waktu itu sudah berdiri dengan emosinya.

“Kemaren persahabatan kita bertiga ancur gara-gara gossip homo itu. Kita berusaha damai itu nggak gampang. Nggak segampang mulut lo yang asal jeplak.” Sem menunjuk ke arah Ipul.

Semua mata masih menyaksikan Sem.

“Dan sekarang setelah kita bertiga berkumpul lagi, Lo semua malah bikin jadi ancur lagi. Lo semua kan tau kalo Riky naksir berat sama Sinta. Gue umpetin tuh surat biar Riky nggak tau. Malah kalian bocorin! Mau kalian apa? Hah?”

Semua langsung merasa bersalah.

“Kalian mau film? Iya? Film? Film itu nggak bakalan jadi kalo persahabatan kita ancur. Riky marah sekarang, padahal dia yang jadi pengeditnya.”

“Mungkin gue bisa Bantu lo,” ucap Ipul menawarkan diri sebagai penawar rasa bersalahnya.

“Enak lo? Enteng lo ngomong kek gitu? Hukuman ini punya kita bertiga. Jadi dari awal sampai akhir harus kita bertiga yang ngerjain!”

Ipul terdiam lagi. Bingung harus bagaimana menebus rasa salahnya.

“Sem, maafin kita ya. Kita Cuma bercanda kok,” kata Ida.

“Bercanda yang kelewatan akibatnya kek gini. Kalian enak tinggal ngomong. Tapi yang kena imbasnya bakalan susah kaya kita. Bercanda yang mendatangkan kehancuran itu juga dosa.”

Sem menghela napa sebentar.

“Persahabatan gue bisa ancur gara-gara kalian. Kalau udah gini, siapa yang mau tanggung jawab? Siapa? Hah?”

Jo beranjak mendekati Sem.

“Udah Sem, sabar.”

Sem mulai merendahkan emosinya,

“Gue emang bego’ kalo dibanding kalian. Tapi setidaknya gue masih punya hati. Dan yang harus kalian tau. Ukuran fisik dan ukuran wajah itu nggak penting, karena ukuran otak yang lebih penting. Tapi ukuran hati, itu yang paling penting” Ucap Sem yang kemudian berlalu disusul Jo.

“Kita kelewatan banget kali ya,” Ida mengingatkan.

“Aku takut banget ngeliat Sem marah gitu. Dia kan biasanya nggak gitu,” Zaty menambahi.

“Mungkin dia bener-bener marah sama kelas.” Tambah LUluk.

“Terus, apa yang harus kita lakukan buat mereka?” Faiq bertanya.

“GIni aja. Nanti aku tembusi Sinta. Biar kujelaskan masalah persahabatan mereka. Dan biar Sinta yang menjelaskan ke Riky semuanya.”

“Gitu aja kali ya,” Zati memastikan. “Aku nggak tega ngeliat persahabatan mereka jadi gitu gara-gara kita.”

“Mereka itu kemarin mati-matian mempertahankan persahabatan mereka. Sem dan Riky melakukan banyak cara buat bikin Jo nggak marah lagi. Mereka berusaha terus dan melakukan apa aja buat persahabatan mereka. Gue salut ma mereka,” tutur Ade.

“Gara-gara gue semua jadi kaya gini,” Ipul ngerasa salah.

“Sekarang yang harus kita lakukan adalah cepat bertindak buat pulihnya persahabatn mereka.” Kata Ida.

“Oke, gitu aja ya Pul. Jadi ntar kamu ngomong sama Sinta masalah ini.”

***

Habis dzuhur, Sem bertafakkur sendiri di Masjid. Berdzikir mengingat-Nya seraya mengadukan apa yang telah menimpa dirinya. Seperti tak sanggup untuk beranjak dari tempatnya berdiam diri saat itu. Ia tak berani menyaksikan Riky memarahinya seperti yang Jo lakukan kemarin. Sem menitikkan air mata meski ia masih berusaha tegar. Kepahitan di hatinya begitu perih, membuatnya tak kuasa menahan air mata yang jarang ia keluarkan.

***

“Kamu kok keterlaluan banget sih Pul!” Sinta nyaris emosi, dia bergidik dan terjingkat dari tempat duduknya semula. Ia menahan tangis yang nyaris hendak meledak membanjiri ruang tamu.

“Maafin aku, Ta’. Tapi gue minta banget sama kamu buat ngomong sama Riky mengenai surat itu. Tolong tenangkan dia. Karena dia sebenarnya suka sama kamu, sementara kamu sukanya sama sahabatnya. Jangan sampai persahabatan mereka hancur, Kan.” Pinta Ipul.

“Tapi aku kan malu sama dia.”

“Kenapa musti malu, kamu kan sukanya sama Sem.” Kata Ipul.

“IYa, tapi kan aku udah kena gossip sama Riky.”

“CObalah, Kan,” Bujuk Ipul.

“Aku bisa gugup di depan Riky. Aku kan nggak pernah ngomong sama dia.” Sinta masih membela diri.

“Demi persahabatan mereka,Ta’.”

Sinta tertunduk sebentar, berusaha menahan air matanya, “Baiklah aku coba,”

Sinta menghampiri Riky yang saat itu berdiam diri di ruang atas.

“Hey,Rick..” Sapa Sinta pelan begitu sampai di sampingnya. Di tengah kegugupan dan kecanggungannya itu, Sinta berusaha menetralisir perasaannya.

“Eh.. Sinta.” Riky sedikit kaget melihat kedatangan pujaan hatinya.

“Aku beleh ngomong sesuatu?”

“Boleh, silahkan.” Jawab Riky.

“Gue pernah berprasangka sama kamu. Tapi semoga kecurigaanku ini tidak benar.” Sinta mencoba menenangkan kegugupannya, “EHm… apa benar kamu suka sama saya?” Sinta masih sangat canggung.

“Iya,” Jawab Riky tak bersemangat.

“Pasti kamu sudah tahu tentang kabarku kalau aku…”

“Kamu suka sama Samuel kan?” Riky memotong kata-kata Sinta.

Sinta tertunduk sedih. Terumata karena melihat kesedihan yang ada di mata Riky.

“Nggak apa-apa kok. Itu kan hak asasi. Semisal Samuel juga suka Sinta, aku nggak apa-apa,” Riky mencoba tersenyum meski berat. Mengingat perasaannya masih hancur.

“Tapi Samuel lebih mementingkan persahabatan kalian kok,” Sinta mencoba tersenyum meski masih merasa bersalah.

“Dia memang sahabat yang baik. Tapi aku pernah nemuin foto kamu yang sengaja diumpetin di bukunya. Mungkin dia menyembunykan perasaannya karena mau menjaga perasaanku. Tapi aku yakin, dia juga suka sama kamu.” Riky menunjukkan senyumnya meski terlihat sedang berusaha untuk tulus.

Sinta yang sempat berbunga hatinya segera menutupinya di depan Riky. Dia masih berusaha menetralisir keadaan.

“Jangan marahi dia ya,” pinta Sinta.

“Enggak lah. Aku nggak mungkin bisa marah sama seorang sahabat kaya dia.”

“Tapi tadi dia sedih banget, Rik.” Ucap Sinta

“Aku tau. Pasti gara-gara tadi tiba-tiba aku cabut dari kelas. Sebenarnya aku hanya mau menenangkan hatiku dulu biar aku nggak emosi dikelas.”

“Tadi kata Ipul Sem sempat marah-marah sama kelas. Dia nggak mau persahabatan kalian bertiga bersamasalah lagi,”

“Kasian dia. Jangan-jangan dia ngira kalau aku marah sama dia. Pasti dia trauma dimusuhi Jo kemarin.”

“Kamu boleh kok marah sama saya.” Kata Sinta.

“Aku kan juga harus bisa sabar kaya Samuel.” Ucap Riky.

“Rick…” Seru Jo begitu sampai di atas.

“Baik-baik ya, aku pergi dulu. Makasih atas pengertiannya.” Ucap Sinta seraya beranjak.

“Sama-sama,”

Sesaat setelah Sinta berlalu, Jo mendekati Riky.

“Temui Samuel yuk!” Ajaknya.

“Emang dia dimana?”

“Dia dari tadi di masjid. Mungkin udah dua jam. Dia nggak keluar-keluar. Ada yang bilang dia tadi sempet nangis,”

“Sem? Nangis?” Riky kaget.

“Gua nggak tega. Gua nggak pernah liat dia nangis. Jangan sampe, gara-gara kita Sem jadi gitu.”

“Yau dah, kita temui dia” kara Riky.

“Tapi kalau lo masih belum stabil, mending jangan dulu.”

“Nggak kok, gue udah agak mendingan sekarang. Kita harus cepat-cepat temui dia. Kasian Samuel.”

“Yaudah,” Jo nurut.

Mereka turun ke bawah, cari sandal dan segera ke Masjid temui Samuel.

Masih terlihat Samuel yang belumberhenti juga dari dzikir panjangnya. Mereka yang tak mau mengganggu, menunggu Samuel di luar.

” Ya Alloh, begitu berat kuberanjak dari sini. Aku tidak siap melihat Riky memusuhi atau bahkan membenci hamba.”

Sem menghela napas sebentar, “Tapi aku hidup untuk memecahkan masalah. Harus kuhadapi semua yang telah dipersiapkan untukku. Kuyakini sepenuhnya, apa yang telah Engkau persiapkan untukku jauh lebih utama ketimbang apa yang Engkau jauhkan dariku. Kumohon bimbingan-Mu untuk menghadapi hidupku selanjutnya. Semoga kudapatkan langkah yang baik. Aku yakin semua akan baik-baik saja..”

Samuel mulai memberanikan diri beranjak dari tempatnya semula. Berjalan dan keluar dari masjid.

“Samuel?” ucap Jo dan Riky nyaris bersamaan.

“Jo? Riky?”

“Kapan kita bisa edit film kita?” Tanya Riky.

“Kapan aja aku siap.” Sem merekahkan senyumnya.

“Sekarang?” tawar Jo.

“Boleh,”

Seketika mereka beranjak dari masjid dan melangkah menuju ruang komputer. Mulailah kesibukan mereka mengedit film. Suasana TU jadi ribut karena perdebatan mereka yang seru karena merebutkan gambar-gambar adegan yang bakal dimasukkan di film. Merek memilah-milah gambar bareng sekaligus menatanya di Vegas. Memberikan effect dan tex. Dan Sem yang kebagian jadi narrator, merekam suaranya dulu. Dia membaca teks yang telah dibuat Jo beberapa waktu lalu.

Jo asik meluberkan Idenya untuk pengeditan film. Riky sibuk mencari-cari effect atau apa aja yang diinginkan Jo. Suasana masih seru. Mereka betah mengedit film. Karena mereka tahu, waktu mereka tak banyak. Lusa film harus sudah dikumpulkan pada kelas.

Ipul yang barusan lewat di depan TU ikut senang melihat kekompakan mereka bertiga. Kemudian mengacungkan jempol begitu melihat Sinta yang juga tersenyum merasakan kebahagiaan mereka.

Mereka masih betah meski melewati ashar, melewati maghrib, tanpa melewatkan sholat tentunya.

Setelah sholat jama’ah isa’ di masjid, mereka kembali ke ruang komputer. Tugas mereka selanjutnya adalah merender film untuk dijadikan Movie clip.

Malam menjemput. Sudah sangat larut. Renderan baru beberapa persen. Akhirnya mereka tertidur di TU dengan masih menggunakan sarung yang tadi mereka gunakan untuk Sholat.

***

Pagi yang bersemangat. Minggu yang ceria ini menjadi hari yang mereka tunggu-tunggu. Dimana mereka sudah free dari pengerjaan hukuman dari kelas. Kerjaan mereka sudah selesai. Film juga sudah dikepingkan. Tinggal diberikan pada kelas.

Setelah mandi dan berdandan sedemikian rupa. Mereka langung cabut ke kota. Jalan-jalan, dan makan-makan. Pokoknya have fun bareng.

***

Sehari setelahnya, mereka memberikan hasil daripada apa yang ditugaskan kelas untuk mereka.

“Maaf ya, atas kelakukan kami kemarin-kemarin sehingga kalian menghukum kami. Ini, kami serahkan hasil dari pekerjaan kami sebulan ini.” Ucap Jo seraya menyerahkan film pada Ipul.

“Maafkan kami juga ya. Sebenarnya ancaman kalian dikeluarkan dari kelas kalau kalian nggak ngumpulin film itu nggak beneran. Tapi berhubung sekarang kalian udah ngumpulin ya kami bersyukur banget.” Ucap Ida.

“Maaf kemarin sempat marah-marah” ucap Samuel.

“Maafin kami juga yang kelewatan,” jawab Zaty.

“Tapi karena hukuman dari teman-teman. Kami jadi bisa merasakan yang namanya berproses, berjuang, dan kami mengenal arti sebuah persahabatan sesungguhnya.”

Tepuk tangan meruah di kelas.

“OKe, filmnya bisa kita tonton di gelar karya. Sekarang kita belajar kesehatan dulu,” Ida mengingatkan.

“Gue aja yang jadi presentasi duluan.” Kata Jo.

Semua langsung tercengang. TUmben Jo mau presentasi.

“GUe dulu udah belajar sama Sem dan Riky. Mereka udah Bantu gue latian jadi leader. Sekarang gue pengen nyoba.” Kata Jo.

“Oke gue mulai ya. Gue mau cerita soal Kanker usus besar.”

“Semua mulai mendengarkan,”

“Resiko terserang kanker Usus Besar menjadi semakin tinggi dengan bertambahnya usia seseorang . Pada umumnya dunia kedokteran, berdasarkan data-data statistik, berpendapat ancaman terserang Kanker Usus Besar mulai terjadi pada usia 40 tahun keatas terutama bagi yang hidup dengan pola makan kehidupan modern.”

***

“Sem, gua pengen denger lo maen musik.” Ucap Riky ketika mereka bertiga kumpul di ruang atas.

“Boleh, tapi ntar kalian harus ikut nyanyi.”

“Siiiiiiiip,” kata Jo dan Riky bersamaan.

Sem mulai menunjukkan keahliannya. Kemudian bereka nyanyi bareng…

Suasana terkesan sangat bahagia. Mengingat apa yang sudah mereka lewati dan lalui. Yang pada akhirnya mereka bisa bersama lagi.

***

Suasana gelar karaya terkesan lebih ramai dari biasanya. Seluruh siswa QT berkumpul di ruang RC untuk menyaksikan serangkaian karya-karya anak QT. Beberapa film telah diputar.

“Tampilan berikutnya ini dari orang-orang yang nggak kita duga sebelumnya. Kira-kira siapa ya????” ucap MC.

“Selamet!” Seru ROsikh.

“Hahahah,” Gerr gelak tawa peserta memenuhi ruang RC.

“Kali ini tu ada anak IT, anak musik sama anak science. Penasaran kan? Kalo gitu langsung aja kita minta mereka untuk maju.” Kata MC yang satunya.

“Kita tampilkan, Sem, Riky, dan…”

“Jo,” Ucap kedua MC bersamaan.

“Wuuuuu, Joooooooooooo!” SOrak peserta, terutama penggemar-penggemar Jo.

Ketiganya melangkah ke depan.

“Sebelum film dimulai, mungkin ada kata-kata yang mau disampaikan?” Tanya MC.

Jo mengambil miknya.

“Jadi gini, film ini kami buat karena nggak pengen dikeluarkan dari kelas.”

“Iya. Jadi kemarin itu kami dapet hukuman dari temen-temen gara-gara jarang masuk kelas. Akhirnya hukuman ditentukan. Yaitu buat film documenter kalibening. Kalian pada tahu kan kalo kita tu nggak pernah buat film. Makanya, pertama kali disuruh kami shok berat. Kemudin kami bertiga kumpul, bahas masalah film. Terus aku kejatahan mempelajari handycam, Riky mempelajari editing film, dan Jo belajar jadi sutradara yang nulis adegan-adegan yang mau diambil. Kami hanya diberi waktu sebulan untuk membuat documenter kalibening yang lumayan panjang ini.” Tutur Sem.

“Dan bagimanapun wujud film ini. Walaupun nggak sebagus punya temen-temen, kami harap bisa berkenan. Selamat menyaksikan,” sambung Riky.

Plok..plok…plok. Tepuk tangan meruah-ruah. Terlebih ketika tampilan awal dalam film itu mereka saksikan.

Mereka bertiga udah menempati tempat semula dan ikut menyaksikan film mereka sendiri.

“Ya, Halo!” ucap Sem begitu mengangkat hp.

“Ini masih gelar karya, Yah.” Lanjutnya.

“sekarang?” Sem mulai beranjak buat cari tempat yang nggak bising.

“udah…udah. Udah tak siapin.”

“Iya. Aku ke sana.”

“Memang Ayah mau jemput kapan?”

“Jam sebelas?”

“Ya udah deh, Yah.”

Sem ke kos-kosannya. Mengambil barang-barang yang udah disiapin. Dia mulai menata beberapa barang yang belum dia bawa. Sem terlihat sangat gundah. Membuatnya lantas mengamati fotonya dengan teman-teman sekelasnya. Membuat Sem teringat masa-masa ketika di kelas. Padahal Sem sangat inginbertahan di kelas dan nggak keluar. Selama ini dia berusaha mati-matin menjalani hukuman biar nggak dikeluarin. Tapi setelah hukuman itu selesai, ternyata dia ditakdirkan untuk keluar.

Sem menghela napas pelan. Kemdian ia ambil foto narsiz bersama dua orang sobatnya. Ia lantas menarik senyum simpul. Kemudian mengingat masa-masa bersaha sahabatnya.

Sem berusaha menahan air matanya. Menutup mata dan memegangi kepalanya yang kini rasanya nggak karuan. Seperti tak ingin pergi, tapi ini jalan yang harus dia tempuh.

Sementara itu di ruang RC, film masih diputar.

“Sem itu pergi sekarang to pak?” Tanya Hilmiy ke pak Achmad.

Jo dan Riky yang kebetulan di dekat mereka, langsung pasang kuping.

“Iya, nanti bapaknya ke sini. Dia langsung diajak pergi.”

“Mau pindah kemana?”

“Kurang tau. Kalau nggak salah ke Balik papan.” Jawab Pak Achmad.

“Ooo, Balik papan. Sekolah apa?”

“Nggak tau,”

Jo dan Riky langsung beranjak seketika setelah mengetahui Sem yang mau pergi hari ini.

“Kok dia nggak bilang-bilang ya?” Tanya Riky begitu jalan.

“Mendadak kali,” jawab Jo.

Belum sampai ke kos-kosan Sem, mereka udah ngeliat Sem dengan koper bawaannya.

“Lo mau kemana, Sem?” Tanya Riky.

“Iya, Sem. Lo mau kemana?” tambah Jo.

“Gue pergi hari ini.” Jo tak bersemangat.

Langkah membawa mereka beranjak ke depan ruang TU.

“Lo kok nggak bilang-bilang?” Tanya Jo.

“GUe nggak sampe ati. Gua aja sebenarnya nggak mau pindah. Tapi gue nggak bisa ngelawan ortu.” Ucapnya.

“Balik papan itu jauh, Sem.” Tegas Riky.

“Ya gue tau. Makanya gue pindah. Ayah gue ditugasin di sana.”

“Tapi kalo lo ngekos di sini kan sama aja biarpun Ayah lo mau ke luar negri sekalipun,” kata Jo.

“Gue mau disekolahin di sana. Padahal gue masih pengen di sini. Bebas bealajar, nggak ada kekangan. Gue bisa ngelakuin apa aja tanpa dipaksa. Karena gue paling nggak suka dipaksa. Tapi kalo yang maksa ortu gue, gue nggak berani ngelawan.” Terang Sem sedih.

“Gue harap Bokap lo, sama keluarga lo nggak betah di sana. Dan Lo sendiri, mudah-mudahan nggak betah sama sekali.” Tutur Riky.

“Ini jalan gue. Gue udah besikeras menolak, tapi Bokap tetap nggak setuju pendapat gue. Tapi gue harus ikut kataBokap,” Sem berangsur-angsur sayu.

“Lo kan dah cocok banget di sini,” ucap Jo.

“Karena itu. Sebenarnya gua nggak pengen pergi dari sini. Hidup gue selama empat tahun ini udah gue curahkan buat sekolah ini. Gue cari ilmu di sini, gue belajar di sini, gue temuin sahabat di sini, gue kembangin musik di sini, gue seneng di sini, gue sedih di sini. Gue nggak pernah dapet tempat belajar sebebas ini. Gue berat banget ninggalin sini.” Sem mulai berkaca-kaca.

“Kalo lo pergi, apa ada yang bisa gantiin lo?” Tanya Jo.

“Nggak ada lagi yang membela kita, nggak ada lagi ngasih kita semangat, nggak ada yang pemberani kek lo, Sem.” Tambah Riky.

Sem masih diam mengingat kepergiannya tinggal sebentar lagi.

“Apa lo tega ninggalin kita? Apa lo sampe ati ninggalin kelas? Setelah perjuangan kita menjalani hukuman itu. ” Tanya Jo.

“GUe menjalani hukuman itu biar nggak dikeluarkan dari kelas. Tapi jika sekarang aku harus pergi, ini diluar perkiraanku.” Jawab Sem.

“Lo ntar bakalan sekolah di sekolah kek gini?” Tanya Riky.

“Ya nggak lah. Sekolah kek gini cuman ada satu di dunia. Sekolah yang membuat gue bebas berpikir. Sekolah yang buat gue terus berproses. Sekolah yang kebersamaannya kuat. Sekolah yang sering buat gue mikir. Sekolah yang arah tujuannya tak terbatas. Yah! Mudah-mudahan gue dipilihin jalan yang terbaik. Kalo emang yang terbaik adalah gue tetep di sini, pasti suatu saat gue bakal balik. Entah setahun kemudian, sebulan kemudian, seminggu kemudian, atau bahkan sehari setelah di sana, gue udah boleh pulang ke sini lagi.”

“Lo jangan lupain kita. Ntar lo di sana dapet sobat baru. Terus lupa lagi sama kita.” Kata Riky.

“Ya nggaklah, Friend. Lo pada nggak bakal gue lupain,” terang Sem.

“Bakalan beruntung, orang yang jadi sahabat lo di sana ntar,” ucap Jo.

“Thanks ya,” ucap Sem yang kemudian mengarahkan kesedihannya ke layer hp. Pura-pura mengotak-atik hpnya untuk menetralisir kesedihannya.

“Ntar kalo di sana, lo jangan berubah. Lo harus tetep gokil kek sekarang.” Pesen Riky.

“GUe usahain,” jawab Sem datar.

“Samuel!” sapa seseorang.

Sem mendongak menyaksikan Ayahnya telah sampai.

“Kita berangkat sekarang.” Ucapnya.

Sem hanya mengangguk pada Ayahnya.

“Pamitkan pada kelas ya. Sampaikan maafku ke kelas atas semua kesalahanku, dan sampaikan salamku pada temen-temen semua.” Pesan Sem seraya beranjak.

“Pasti, Sem!” ucap Riky.

“Baek-baek lo. Sering-sering kirim kabar ya.” Jo mulai beranjak kemudian menyalami dan memeluk Sem sesaat.

“Jangan jadi pendiem terus Jo. Lo harus aktif di kelas, ilmu lo juga jangan dipendem sendiri. Jangan kemakan ma gossip. Lo harus belajar sama Riky buat nyoba membuka diri.” Pesen Sem.

“Gue coba,” jawab Jo.

Disusul Riky mendekap sahabatnya sebagai tanda perpisahan.

“Jaga Sinta ya, Rick. Jangan sakiti dia.” Pesen Sem.

“Pasti!” Jawab Riky sambil tersenyum begitu melepaskan dekapannya.

“GUe cabut sekarang.” Sem beranjak membawa koper dan kemudian menemui Ayahnya.

Mereka mulai berjalan keluar dari garasi depan TU. Disusul Jo dan Riky yang mengantarkan.

Sem memasukkan koper di mobil. Kemudian memasuki mobil, lantas melambaikan tangan pada kedua sobatnya.

Jo dan Riky turut melambaikan tangan.

Sem tak sengaja menyaksikan Sinta yang berdiri di kejauhan. Terlihat Sinta melempar senyum sembari melambaikan tangan. Sem hanya mengangguk dan sedikit tersenyum membalas senyum Sinta.

Mobil Sem berjalan. Sementara itu, Jo dan Riky berbalik dan berjalan ke arah yang berlawanan dari mobil Sem.